Happy reading, Nakuga! Maaf karena update-nya lamaaaaaa
***Suatu hari, kita akan jadi sebatas kenang yang berharap terulang.
***Karena kemarin Nadine membiarkan Kuga memeluknya semalaman sampai ia tertidur, kini Kuga lebih lengket lagi padanya.
Selama Nadine mandi, dia bahkan mengetuk pintu berkali-kali sampai Nadine harus berseru dengan agak keras menyuruh Kuga diam dan kembali ke tempat tidur.
Sejak kemarin malam, pandangan Kuga tak berubah pada Nadine. Lebih sayu dari biasanya, bersama ujung bibir yang tertarik ke bawah.
Nadine pernah mendengar, kalau kucing adalah hewan yang peka terhadap perasaan pemiliknya. Barangkali, Kuga tahu mengenai kesedihan yang dirasakan Nadine, meski tidak tahu penyebabnya apa. Sayangnya, dengan tindakan itu Nadine merasa dikasihani.
Ia tak menyukai keadaan itu.
Lupa menyiapkan buku untuk hari ini, Nadine menyusun buku pelajaran agak malas-malasan. Ia tidak ingin melakukan apa-apa. Kuga duduk di kursi meja belajar, melihat gerak-gerik Nadine tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan.
"Sebentar lagi, lo gue ubah jadi wujud kucing." Ucapan Nadine lebih terdengar seperti ultimatum dibanding pemberitahuan.
"Auh." Kuga mengerucutkan bibir. "Janan."
"Jangan, bukan janan." Nadine mengoreksi. Selesai dengan pekerjaannya, ia pun menggendong tasnya dan bersiap meraih kalung Kuga. Namun, Kuga menjauh dan berlari ke sudut kamar.
"Janan!"
"Udah dibilangin yang bener jangan, bukan janan!"
"Huuuuuuuu."
Merapikan anak rambut dengan menyelipkannya ke telinga, Nadine mengembuskan napas keras-keras dan menghampiri Kuga. Detik itu juga, Kuga melompat ke atas tempat tidur.
Mengapa dia tidak mau berubah menjadi kucing? Bukannya dia bisa lebih bebas berkeliaran di rumah ini dengan wujud itu?
"Jangan lari-lari, gue mau sekolah, sini buruan."
Berpindah dari tempat tidur, Kuga kini berdiri di samping lemari pakaian. Matanya yang bulat berkedip-kedip.
Seluruh kekesalan, amarah, yang semalam teredam memuncak lagi. Nadine menjerit tertahan, menginjakkan kaki keras-keras ke lantai, dan mengangkat tangan. Tak peduli lagi hari ini Kuga akan jadi manusia atau kucing hitam putih. Langkahnya cepat, menutup pintu setengah membanting dan menguncinya.
Di belakang, sesuatu menabrak pintu kamarnya. Mudah saja ditebak, itu Kuga. Menyusul kemudian suara ketukan dan nama Nadine yang dipanggil-panggil. "Nadine, Nadine."
Nanti juga Kuga akan lelah sendiri dan diam, pikir Nadine. Ia menuruni tangga, menuju dapur tanpa rasa lapar. Ia hanya perlu segelas air untuk sedikit mendinginkan dadanya.
"Non, mau sarapan apa? Bibi bisa bikinin nasi goreng atau siapa tahu Non ma--"
"Nggak usah," balas Nadine cepat. Nadanya ketus, tak bersahabat sama sekali.
Barangkali, keterkejutan melanda Bi Ade sampai dia membulatkan mata dan mengelus dadanya. Sejenak, rasa bersalah bersarang pada diri Nadine. "Langsung siapin roti buat makan siang aja, Bi."
"Baik, Non."
Memijat pelipisnya, Nadine menunggu dalam ketidaksabaran. Ia tidak ingin berangkat sekolah, tetapi berdiam di rumah pun hanya akan menyiksa perasaannya.
Nadine tidak tahu, Nil sudah berangkat bekerja atau belum. Ia malas bertanya pada Bi Ade. Bi Ade akan memberitahu sendiri tanpa diminta, biasanya begitu.
"Tuan alis Papanya Non belum berangkat."
Seperti yang telah Nadine duga.
Bukan bermaksud kasar, tetapi Nadine tidak ingin bertatap muka dengan ayahnya dulu.
"Mang Amin udah siapin mobil, Bi?"
"Belum, Non. Mau Bibi panggilin dulu? Ini bekalnya."
"Iya, cepet ya, Bi."
Hal sesepele membuka ritsleting tas kembali membuat Nadine sebal. Saat memasukannya, buku Nadine yang bersampul licin meluncur ke bawah dan tertekuk begitu Nadine memasukkan kotak bekal.
"Astaghfirullahaladzim." Nadine menghela napas dalam.
Kembali menggendong tasnya, Nil muncul dengan penampilannya yang sudah rapi. Setahu Nadine, jam masuk kantor tidak sepagi anak-anak sekolahan. Hanya saja, soal jarak dan padatnya jalan yang tidak bisa diprediksi tidak membuat Nadine heran.
"Mau berangkat bareng Papa?"
"Nggak usah." Nadine terdengar lebih ketus dari yang dibayangkannya sendiri.
Karenanya, Nil sontak menaikkan sebelah alis. "Nadine?"
Nadine tahu ini akan menjadi urusan yang panjang, maka ia cepat-cepat berdiri dan meninggalkan dapur.
Di halaman, mobil yang biasa dipakai Mang Amin untuk mengantarkannya masih belum dihidupkan juga. Tangan Nadine mengepal, heran mengapa hari ini seisi rumah membuat kekesalannya memuncak. Ia setengah berlari melewati pagar yang terbuka.
"Non, mobilnya belum siap!" teriak Mang Amin dengan segelas kopi di tangannya.
"NGGAK USAH! BERANGKAT SENDIRI AJA!" Teriakan Nadine tak kalah kencang.
Memegang tali tasnya sendiri, Nadine berniat pergi ke gerbang kompleks dan memesan ojek online. Ia bisa sendiri.
Bukannya ia memang selalu sendiri?
***
Hampir sebulan nggak update wkwk
YANG MAU UPDATE BESOK SPAM DI SINIIII
see you wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadine & Tuan Kucing (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE) Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu. Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...