(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE)
Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu.
Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading, Nakuga!
***
Ambilah jeda. Harimu membutuhkannya di sela-sela ambisimu yang tak terbatas.
***
Baru kali ini Nadine berdiri di luar area sekolah bersama teman-temannya, menunggu jemputan masing-masing untuk pulang.
Nadine baru mendapat kabar dari ayahnya kalau Karera baru selesai melakukan tanda tangan untuk cetakan khusus novel perdananya. Katanya, dia masih akan di kantor redaksi sampai sore ini. Nil meminta Nadine untuk datang ke kantor. Beberapa kali Nadine datang ke sana, memperhatikan aktivitas sibuk atau melihat-lihat stok buku di gudang distributor. Karenanya, Nadine menunggu jemputan Mang Amin.
Di sampingnya, Utami mengetik dengan cepat, matanya tertuju pada layar ponsel. Sejak tadi, dia mengomel soal Takumi yang memang suka ngaret. Di sampingnya lagi, Laura menunggu ojek online pesanannya. Hesti sudah pulang dari tadi, rumahnya dekat sekali dengan sekolah, sehingga dia pulang berjalan kaki.
"Ini pada mau langsung pulang, 'kan?" Utami tiba-tiba bertanya.
"Iya. Ada keluarga jauh datang." Laura membalas, dia melambaikan tangan pada seorang ojek online yang plat motornya sama dengan data di aplikasi. "Eh, gue duluan, ya. Dadah!"
Nadine dan Utami kompak melambaikan tangan. Sekejap setelah Laura berlalu, Utami bergumam bingung. "Keluarganya Laura gede amat ya perasaan kumpul-kumpul mulu."
Tersenyum keki, Nadine bingung harus menjawab apa. Karenanya, ia mengalihkan arah percakapan. "Takumi masih lama?"
"Tahu tuh, di-chat nggak dibalas-balas."
"Mungkin lagi ngantri keluar parkiran." Nadine menenangkan Utami. Memang, karena hanya terdapat satu jalur masuk dan keluar, siswa yang membawa kendaraan ke sekolah pasti akan mengantre lama.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan keduanya, jendela mobil terbuka dan tampaklah Mang Amin mengangguk pada Nadine.
"Utami, gue duluan, ya. Udah ada yang jemput."
"Oke, hati-hati ya, Din."
Nadine bernapas lega saat mendudukkan dirinya sendiri di kursi belakang. Ia menyempatkan diri untuk melambaikan tangan pada Utami. Sekolah kini punya sisi menyenangkan selain guru-guru pengajarnya yang tidak membuat pelajaran membosankan.
"Ke kantor Bapa ya, Non."
"Iya."
Nadine menunduk kala ada seseorang menghubunginya. Nama Nil tertera di layar. "Halo, Pa?"