Happy reading, Nakuga!
***"Papa tadi ke sekolah kamu." Adalah kalimat pertama yang Nadine dengar begitu kakinya selesai menuruni tangga.
"Iya tahu, tadi Mang Amin bilang."
Tidak ada siapa-siapa selain Nadine dan Nil di ruang keluarga. Bi Ade langsung pergi ke dapur, tak mau mengganggu. Dia merasa majikan dan anaknya perlu waktu hanya berdua. Untuk membicarakan yang tak terucapkan, yang tak terungkapkan.
"Diantar pulang temanmu?"
"Naik ojek online."
"Oke."
Itu saja?
Nadine sudah berbalik dan ingin melangkah saat Nil memanggil namanya. Sekejap kemudian, dia meminta Nadine untuk duduk. Nadine ingin semuanya cepat selesai, jadi tanpa banyak bicara ia duduk di bagian sofa yang lain. Matanya sempat melirik benda-benda yang tergeletak di meja. Ponsel Nil, dompetnya juga, dan kantung kertas tinggi yang Nadine tebak isinya minuman karena ada sedotan menyembul.
"Tadi Papa sempat belikan minuman sebelum datang ke sekolah kamu."
Kantung kertas itu memang berisi minuman. Terasa dingin saat Nadine mengeluarkannya. Tempat minumnya cantik sekali. Putih dengan banyak gambar bunga matahari yang seakan-akan dilukis secara manual. Nadine suka bunga matahari. Hal itu bukan rahasia lagi di rumah ini, mengingat di kamarnya banyak dekorasi atau motif dengan bunga tersebut. Walau Nil tak pernah masuk kamar Nadine.
Minumannya rasa cokelat.
"Kamu menghindar dari Papa, ya?"
Jawaban seperti apa yang ingin Nil dengar? Nadine tidak tahu. Namun, yang jelas ia tak mau berbohong lagi. Nadine tak ingin nantinya ia terlalu merasa aman dengan kebohongan-kebohongannya, lalu repot sendiri. Nadine juga tak ingin menyembunyikan apa-apa soal yang dirasakannya. Seperti yang Nil lakukan.
"Iya."
"Mengapa?"
"Papa masih tanya alasannya apa?"
Suasana ruang keluarga seketika berubah. Suara-suara dari televisi jadi terasa menyebalkan, tanaman-tanaman hias terlihat lebih layu. Mungkin, minuman dari Nil pun tak akan terasa manis lagi.
"Kalau ini soal Tante Niken." Suara Nil terdengar lebih lambat. Diucapkan kata per kata, jelas kedengarannya. "Papa minta maaf. Seperti yang pernah Papa bilang, akan ada waktunya Papa menceritakan itu."
"Ada waktunya itu kapan sih, Pa?" Nadine memotong cepat. "Di mata Papa mungkin aku cuma anak kecil yang nggak bisa menilai apa-apa, tapi dengan disembunyikannya apa yang terjadi dan Papa seolah nggak punya rahasia apa pun, itu lebih sakit dibanding jujur tanpa memikirkan perasaan aku."
Suara Nadine mulai goyang. Parau dan bergetar. Matanya sudah terasa panas, penglihatannya mulai kabur karena lapisan bening yang siap turun begitu berkedip.
Nil membiarkan anaknya mulai terisak. "Untuk bicara saja, kita sulit. Papa butuh banyak waktu untuk kita bahkan satu mobil. Papa butuh banyak waktu agar berani berdiri di depan pintu kamar kamu, sementara kita berbicara terpisah pintu. Membicarakan topik ini akan membuat jarak di antara kita semakin membesar, Nadine."
Satu isak, dua isak, terus bertambah. Nil terlalu canggung untuk mendekat dan menepuk bahu Nadine, atau mengelus punggungnya, atau membelai rambutnya.
"Nadine." Suara Nil juga tidak setenang biasanya. "Jangan menangis."
Namun, tangisan Nadine justru semakin deras.
"Beberapa hari ini aku percaya Papa kita bisa dekat lagi, meski Mama nggak ada. Beberapa hari ini aku kira Papa serius peduli, tapi nyatanya Tante Niken lebih penting."
"Ini bukan soal siapa yang lebih penting, Nadine. Kamu tentu saja penting buat Papa."
"Kalau penting, Papa nggak akan menganggap aku nggak perlu tahu soal kalian." Nadine menukas.
"Papa ingin lebih dekat dulu dengan kamu, baru membicarakan tentang Tante Niken."
"Sampai sedekat apa? Dengan Papa menyembunyikan banyak hal terus, kita nggak akan pernah dekat."
"Sampai kapanpun itu, Papa tetap akan berusaha membuat kita dekat lagi. Terlepas dari tentang Tante Niken atau bukan."
"Mungkin," Nadine merasa dadanya sesak seakan ditekan batu-batu besar, "sampai aku nyusul Mama dan Papa bebas untuk hidup tanpa memendam rahasia lagi."
"Nadine!"
Suara Nil jelas bisa didengar seisi rumah. Penuh penekanan, penuh emosi, tanpa penahan apa-apa. Sekarang pun, matanya terbelalak tak percaya, menatap Nadine yang lebih pucat setiap detiknya.
Tidak ada yang bergegas datang. Baik Bi Ade maupun Mang Amin cukup tahu diri untuk tidak ikut serta dalam pembicaraan itu. Meskipun mereka memasang telinga, mendengarkan tanpa jeda. Meskipun ingin menengahi juga.
"Tidak pernah sekalipun Papa berpikiran seperti itu." Suara Nil tegas, tetapi amarahnya kini bercampur dengan keterkejutan.
"Lalu kapan? Sampai kapanpun, aku nggak mau ada yang menggantikan Mama!"
Nadine berdiri, tempat minum bergambar bunga matahari itu jatuh dari pangkuannya, tutupnya terlepas. Isinya, minuman cokelat dan bongkahan-bongkahan es segera mengotori permadani tebal. Meninggalkan noda.
Tangis Nadine lebih histeris lagi. Ia setengah berlari ke arah tangga, tetapi akhirnya menubruk sosok jangkung yang berdiri di sana.
Kuga tidak kelihatan senang dan matanya menatap nyalang.
***
Udah pendek, gantung lagi.
WKWKWKWK.
Akhirnya aku selesai UAS, teman-teman :) semoga hasilnya baik-baik aja, ya. Katanya semester depan bakal daring lagi. Jujur, nggak sanggup tapi gimana lagi 😭
Tim lanjut? Absen di sini dong~
Instagram: bayupermana31_
Best regards, Bayu Permana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadine & Tuan Kucing (SUDAH TERBIT)
Novela Juvenil(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE) Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu. Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...