Happy reading, Nakuga!
***
Barangkali aku hanyalah rintik hujan yang menunggu angin tanpa lelah, untuk membawaku pasrah.
***
Tidak ada mobil yang terlihat parkir di pelataran rumah selain yang biasa dipakai Mang Amin untuk mengantarnya ke sekolah. Nadine menghela napas lega karenanya.
Orang yang pertama bertemu dengannya beberapa saat setelah melewati pagar rumah adalah Mang Amin. Sosoknya yang tinggi kurus muncul bersama celana panjangnya yang dilipat sampai di atas mata kaki. Namun, masih tetap basah. Nadine memperhatikan, alat penyiram tanaman otomatis tengah bekerja.
"Maap ya, Non, tadi pagi nggak sempet nganterin."
Layaknya kebanyakan seseorang dari daerah asalnya, Mang Amin kesulitan menyebut huruf f ataupun v. Pespa dari Vespa, pitnah dari fitnah, dan yang lainnya.
"Nggak apa-apa, Mang."
Bersama tas plastik berisi jajanan, Nadine melangkah lebar-lebar. Pintu depan sudah terbuka, Nadine melepas sepatu dan diam di sofa ruang tamu, mengistirahatkan kakinya yang pegal. Akibat dirinya yang mengambil jalan terjauh yang ia tahu--dan Nadine yang lebih banyak diam daripada bergerak--rasanya capek, kepayahan.
Beberapa toples dengan isi beragam tersedia di meja. Keripik, kue-kue cokelat, keju, dan sebagainya. Entah tak punya kerjaan atau memang sedang iseng, Nadine membuka satu per satu tutup toples dan membiarkannya terbuka.
Kata Bi Ade, Ibu Nadine suka membuat keripik pisang, baik yang asin maupun manis. Nadine mengambil satu yang asin, mengunyahnya. Tatapan Nadine kosong, ia tak pernah benar-benar merasakan makanan buatan sang Ibu.
Keluarga kecilnya bahkan belum sempat mengambil foto bertiga dan dipajang di ruang tengah besar-besar layaknya cerita-cerita yang ia baca. Nadine tidak mendapatkan kesempatan seistimewa itu.
"Aduh, Non, kalo udah dimakan toplesnya ditutup nanti isinya melempem."
Nadine kembali dari pikiran tak berujungnya saat Bi Ade berlutut di depan meja, menutup toples yang berisi keripik talas.
"Tutup aja semuanya, Bi." Nadine membalas agak lemas. Ia berdiri, menyeret tasnya. Tiba-tiba saja terasa barat, seakan diisi seribu batu.
Kala satu per satu tangga Nadine lewati, ia teringat kalau Bi Ade tidak mengatakan apa-apa soal suara-suara yang mungkin terdengar dari kamarnya. Seingat Nadine, Kuga memukul-mukul pintu dan memanggil-manggil namanya begitu ia tinggalkan.
Mengapa dia bisa jadi setenang ini? Bahkan, Nadine juga tidak mendengar apa-apa saat mendekat ke kamarnya.
Apakah kucing atau jelmaannya--lama-lama Nadine merasa tidak nyaman dengan sebutan itu--bisa pingsan karena lemas belum makan?
Sebelum membuka kunci kamar, Nadine melihat ke sekeliling. Takutnya, ada Bi Ade mengikutinya atau tiba-tiba Mang Amin sudah di lantai dua lewat tangga di bagian belakang. Atau, yang lebih menakutkan, ada Nil yang sudah pulang.
Karena terburu-buru, Nadine tidak sempat memperhatikan seisi kamar. Ia masuk dan berbalik, mengunci kembali pintu. Napasnya tidak beraturan. Sosok Kuga yang tinggi segera dilihatnya. Hanya saja, Kuga tertidur. Tempat tidur milik Nadine dibuat untuknya yang bertubuh mungil. Karenanya, kaki Kuga tergantung di ujung. Matanya yang bulat tertutup rapat, bibirnya sedikit terbuka.
Dia tidak terusik dalam tidurnya.
Tirai jendela kamarnya menarik perhatian Nadine. Salah satu kaitannya terlepas, barangkali ditarik-tarik seseorang. Sewaktu Nadine memeriksanya, ring atau bulatan pengaitnya entah ke mana. Menggelinding ke belakang lemari, tergeletak di dekat kaki meja belajar, atau masuk ke kolong tempat tidur. Nadine tidak sempat membuktikan satu per satu kemungkinan itu.
Walau Kuga akhirnya bangun dan mengucek matanya rusuh, lalu menguap lebar, Nadine memilih tidak menatapnya penuh. Ia menyimpan tas di atas meja belajar, baru berbalik begitu mendengar Kuga memanggilnya.
"Nadine."
Nadine baru menyadari jika mata Kuga tampak sembab. Bulu-bulu matanya yang lentik sedikit merapat, pipinya yang bulat dia sembunyikan dengan menunduk dalam-dalam.
Sejujurnya, Nadine tidak tahu apakah kucing memiliki perasaan yang peka.
Walau kepalanya tetap menunduk, tangan Kuga tetap terulur, menunjukkan sesuatu yang jam-jam sebelumnya ia genggam tanpa berniat dia lepaskan. Sebuah benda bundar.
Ring untuk pengait tirai jendel kamar Nadine.
Nadine mendesah, lalu mendekat pada Kuga yang masih setia di tempatnya. Tanpa aba-aba, Nadine memeluk Kuga, menempatkan kepala Kuga di dadanya dalam posisinya berdiri.
Bagaimana pun juga, selama ini, Kuga lah yang memberi warna baru bagi Nadine.
Yang tak bisa diberikan siapapun dalam hidupnya.
***
Akhirnya ... update
hehe.
SPAM KOMEN UNTUK LANJUT DI SINI~
Ok, see you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadine & Tuan Kucing (SUDAH TERBIT)
Novela Juvenil(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE) Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu. Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...