5 Juni 2020
"ini tidak mungkin"
"maaf, sepertinya kami hanya bisa menunggu pendonor yang cocok"
Seketika kurasakan sebuah tamparan begitu keras dalam dadaku.
Aku baru saja kembali dari acara wisuda di kampusku. Ku ingat betul salam ku pada Mama saat aku pergi tadi pagi. Wajahnya terlihat bahagia. Meski aku rada kesal karna Mama tak bisa ikut bersamaku ke acara tersebut.
Rasa gembira yang kuraih sebagai mahasiswi dengan peringkat pertama membuatku terburu-buru kembali ke rumah.
Rasa bangga yang baru saja kudapatkan, akan kutunjukkan pada Mama.
Mama, anakmu menjadi juara.
Kata itu, semoga masih bisa di dengar oleh Mama.
Mama divonis oleh dokter dengan gejala kebocoran jantung, entahlah aku tak tau pasti mengenai penyakit itu, yang Kutau dokter menyarankan agar segera melakukan, transplantasi agar bisa bertahan hidup.
Selama ini, Mama melakukan perawatan secara diam-diam di belakangku. Hingga aku baru tau hari ini, begitu menderitanya Mama selama ini, dibalik senyuman yang diperlihatkan padaku ada rasa sakit yang menyelimuti.
Ku raih tangan Mama begitu lembut. Beberapa kali kucium tangan yang sudah keriput itu. Tangan yang selalu terulur pada ku, menghapus setiap air mataku, tangan yang selalu menjagaku, memberikan segala apa yang aku butuhkan.
"Rere, kamu makan dulu nak" kata Bibi Asih, tetangga dekat rumahku. Yang juga sahabat mama.
"..."
"dari sepulang acara tadi kamu belum makan"
"tidak, Bi. Terima kasih"
"jika Mama mu tau kamu seperti ini, Dia pasti sangat merasa sedih nak"
"..."
Bibi Asih adalah saudara jauh seperantauan dengan Mama saat muda dulu, mereka bersama-sama ke kota mencoba keberuntungan di sini, dan hingga sekarang persahabatan mereka masih terjalin dengan sangat baik. Bibi yang sudah kuanggap sebagai Ibu keduaku yang selalu menjagaku seperti anaknya sendiri. Bibi Asih tidak memiliki seorang anakpun, kata dokter, Bibi sangat sulit untuk mendapatkan seorang anak sebab ada masalah pada rahimnya.
Pernah suatu ketika Bibi Asih, memintai cerai pada suaminya karna masalah tersebut. Tak disangka Paman hanya mengatakan bahwa dia menikahi Bibi karna Allah, dan mencintainya karna Allah, bukan mencintai rahimnya.
Cinta tulus itu membuat mereka saling melengkapi.
Terkadang masih iri melihat cinta mereka, usia bukanlah penghalang untuk memberikan kasih sayang.
--oOo--
Aku Renata Zein Fatih, hidup hanya berdua dengan Mama. Kata mama nama Fatih kudapatkan dari nama kakekku, ayah dari Mama. Entahlah aku juga bingung akan hal itu, dan aku tak pernah mempermasalahkannya.
Sosok Ayah mungkin hanya ada dalam pikiranku saja. Kata Mama, ayahku sudah lama meninggal sejak usiaku masih dalam kandungan. Pikirku, mungkin itu sebabnya tidak ada nama ayah dibelakang namaku. Terkadang kenangan itu lebih menyakitkan.
Hidupku biasa saja, Mama yang berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah Menengah Atas, disalah satu daerah di Jakarta. Dengan upah yang didapatkan Mama, dan dengan mengandalkan beasiswa berprestasi membuat ku tak kesulitan dalam meraih pendidikan.
Baju kemeja putih dengan rok hitam yang panjang, tak lupa dengan hijab hitam yang terpasang di kepalaku, mengingatkanku pada saat maba dulu. Bedanya kali ini sebuah map coklat harus ku bawa ikut berkeliling denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...