17 Agustus 2020
Abrar POV
Aku terduduk sambil mengacak rambutku prustasi, melihat Renata yang baru saja keluar dari ruanganku.
Setelah apa yang terjadi semalam, aku sedikit kaget mendengar kata perceraian yang keluar langsung dari mulut Renata. Kata yang tak pernah ingin kudengar sama sekali.
Aku sadar, aku telah menyakitinya. Mungkin benar kata kak Tio. Aku memang tidak pernah menghormatinya sebagai istri. Tapi aku juga tidak bisa menjelaskan semuanya pada Renata, karna Kutau itu akan menyakiti perasaannya.
Flashback
Aku mendapat telfon dari bi Sutami Seketika rahang ku ikut mengeras. Tanpa memberitahu Renata tujuanku, aku langsung bergegas meninggalkannya. Hanya janji yang ku ucapkan jika aku akan menjemputnya nanti.
Aku langsung menemui Rania, yang sudah mengurung diri di kamar mandi.
"Nia..." Teriakku dari balik pintu kamar mandi.
Aku terlalu takut, mengingat hal konyol itu terulang kembali. Ini semua kesalahanku.
"Abrar. Kak Aldo." Kata Rania yang langsung memelukku dengan penuh isakan tangisan.
"Ada apa?"
"Kak Aldo, dia..., Dia ingin bertemu, aku takut Abrar.., bagaimana kalau dia...." Kata Rania panik dengan wajah gemetar.
"Tidak akan, aku ada disini. Tidak ada yang akan menyakitimu"
"Padahal aku sudah mengganti nomorku, bagaimana dia bisa tau" jelas Rania.
"Tenang, semuanya akan baik-baik saja"
Tubuh Rania perlahan mulai lega. Segera kulonggarkan pelukannya. Kulihat jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Sudah waktunya aku pulang. Renata pasti sudah menungguku.
"Abrar, aku ingin makan chocolate cake di restoran yang biasa kita kunjungi" kata Rania. Kurasa fase ngidamnya sudah dimulai.
"Aku pesenin yaa"
"Aku ingin makan disana"
"Tapi Rania, aku harus pulang. Aku meninggalkan acara kak Tio"
"Pokoknya aku ingin makan disana" jelas Rania.
Tak ingin berdebat, aku segera mengantar Rania ke tujuannya. Sialnya handponku lowbat.
Belakangan ini pikiranku mulai tertuju pada Renata, entahlah. Aku hanya tidak ingin membuatnya kecewa. Sungguh aku tak tau apa yang harus kulakukan.
Kulihat Rania sudah tertidur di samping jok kemudi ku, mungkin ia kekenyangan dengan tiga piring kue yang dipesannya. Hujan pun semakin deras.
Tak ingin membangunkannya kugendong Rania menuju ke kamarnya, wajahnya begitu teduh. Sekilas terlihat mirip dengan Renata.
Saat ingin kulangkahkan kakiku pergi, kurasakan tangan Rania menghentikan ku.
"Temani aku Abrar, jangan pergi" kata Tania.
"Nia, aku harus kembali ke rumah kak Tio"
"Please, aku takut kak Aldo akan tiba-tiba datang"
"..."
"Kumohon" kata Rania dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya.
"Baiklah" kata ku pada Rania yang membuatnya langsung kembali tertidur.
Segera ku cas handponku, terlihat beberapa panggilan dari Renata, termasuk kak Tio. Beberapa kali kuhubungi Renata namun tak ada jawaban darinya. Bahkan pesan ku hanya di read saja. Okeh fix dia marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...