17 Agustus 2020
Dirumah megah yang begitu gelap karna cahaya senja kian memudar. Renata baru saja pulang dari kantor dengan taksi online yang biasa ia gunakan.
Ia memandangi rumah itu datar, rumah yang kini menjadi saksi atas deritanya.
Bersamaan dengan itu, mobil mewah berwarna hitam terparkir indah disana. Abrar.
"Assalamualaikum" kata Abrar yang baru saja masuk kedalam rumah.
"Wa'alaikumsalam" jawab Renata dari atas tangga, yang memang ingin menuju ke kamarnya.
"Rere, aku mau bicara sebentar"
Rere adalah nama panggilan oleh orang-orang tersayangnya. Dan ini pertama kalinya Abrar memanggilnya dengan nama itu. Tak ingin tertipu oleh perasaannya sendiri. Renata hanya melirik Abrar sekilas, lalu melanjutkan jalannya menuju ke kamar.
Abrar hanya menghela nafasnya lelah, lalu mengejar istrinya yang mengabaikannya.
"Rere, aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa memberimu kabar, karna..."
"Abrar, sebentar lagi azan magrib. Kau tidak ke masjid?" Kata Renata yang mengalihkan pembicaraan.
"Kita sholat berjamaah saja disini" kata Abrar sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.
Sepasang sajadah sudah terbentang diatas lantai begitu Renata keluar dari kamar mandi, Abrar sudah menyiapkannya sedari tadi. Meski marah, Renata tak bisa melakukan apapun.
Dalam hening dua insan yang bertamu dihadapan Allah, berucap doa dalam diam. Mencoba menenangkan pikiran hanya dengan menyebut nama Allah. Maha besar Allah atas segala firman-nya.
Abrar menghela nafasnya dalam lalu berbalik pada Renata yang mencium tangannya. Khas sehabis sholat.
"Maaf"
"Abrar..."
"Iyaaa"
"Bisakah pernikahan ini hingga setahun?"
"..."
"Sepertinya aku tidak bisa menunggu setahun, karna sudah jelas cinta itu tidak akan pernah hadir"
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin cerai"
"Astagfirullah, aku tidak akan melakukannya"
"Jangan egois Abrar, kau mencintai Rania. Kita menikah hanya untuk mamaku dan juga mamamu. Yang menjalani itu semua adalah kita, dan keputusanku sudah bulat" kata Renata sambil menuju ke lemari dan mengambil surat perjanjian yang telah membodohi hidupnya.
"Kita tidak perlu menunggu setahun, kalau memang bisa dilakukan sekarang" lanjut Renata.
"Tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya, bagaimana dengan mamaku"
"Mama...mama...mama..., Terusss..., Aku tau kau sangat berbakti pada mamamu, tapi bukan berarti kau tidak menghormatiku sebagai istrimu" jelas Renata.
"Rere..."
"Cukup Abrar, biar aku yang menjelaskannya pada mama" teriak Renata.
"Mama tidak akan pernah setuju"
"Aku yang menjalani kehidupanku, Abrar." jelas Renata.
Pertengkaran menjadi awal dari permasalahan, ketidakjujuran menjadi halangan dalam kepastian. Kini seikat harapan menjadi impian. Masih adakah celah cahaya yang bersinar?
--oOo--
Renata POV
Aku terduduk lemas dibalik kamar lain di rumah megah ini. Isakan yang hanya mampu ku dengar sendiri. Mengingat apa yang baru saja ku katakan. Keinginan yang tak pernah ku harapkan, namun terlanjur kuucapkan
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...