5 Juni 2020
Kumasuki rumah berpagar putih itu, hari ini begitu melelahkan ditambah dengan adanya kegiatan membagikan brosur di pinggir jalan tadi.
Perusahaan yang bergerak di bidang Travelling memaksaku bekerja extra, promosi itu tidak cukup dengan memajang brosur disitus internet, namun bertemu langsung dengan para konsumen terkadang lebih baik. Dan akupun harus siap dengan itu, rela panas-panasan, karyawan baru memang banyak cobaannya.
"Assalamualaikum" sapaku sebelum memasuki pintu rumah.
"Wa'alaikumsalam, anak Bibi sudah pulang.
"Bibi sepertinya senang banget yaa hari ini" tanyaku yang sedikit ngeri melihat senyuman Bi Asih.
"Nanti malam, Tante Rianti dan keluarganya mau datang, sekalian mau dengar jawaban dari kamu" bisik Bi Asih yang membuatku tak bisa berkata apapun lagi.
Segera kumasuki kamar, berniat membersihkan diri lalu siap-siap mengerjakan sholat magrib.
"Assalamualaikum warahmatullah..." Salamku diakhir sholat.
Ya Allah berikanlah keteguhan hati pada ku, ikhlaskan lah aku menerima perjodohan ini, jika memang ini sudah menjadi kehendak darimu, lapangkanlah hati ku dalam menerima ridho darimu.
Setelah melaksanakan salah satu kewajiban ku pada Allah, aku langsung menemui Bi Asih yang sudah sibuk dengan perlengkapannya di dapur.
"Assalamualaikum" suara laki-laki yang terdengar tak asing lagi ditelinga ku.
"Wa'alaikumsalam, paman..?" Jawabku sekaligus terkejut melihat paman suami Bi Asih.
"Paman langsung buru-buru mengurus surat izin begitu mendengar kamu bakal nikah" kata paman yang tak kalah terkejutnya.
Aku hanya tertunduk malu mendengar perkataan paman. Mungkin wajahku sudah memerah dari tadi.
"Putri kecil paman ternyata sudah besar ya Buk?" Kata paman yang mengelus kepalaku lembut.
Paman dan Bi Asih sudah menganggap ku sebagai anak kandungnya sendiri, mungkin karna mereka sudah tidak memungkinkan untuk memiliki anak, terlebih mama sering menitipkan ku pada Bi Asih waktu kecil dulu, saat mama sudah mau berangkat ke sekolah untuk mengajar. Sehingga waktuku bisa dikatakan lebih banyak bersama bibi dan paman saat kecil dulu.
Aku langsung menghambur kepelukan paman, kasih sayang seorang ayah tiba-tiba menjalar dalam hatiku. Mungkin seperti ini rasanya memiliki ayah. Batinku.
"Sudah, Bibi jadi ikut sedih melihat kalian berdua"
"Ibuk pasti iri yaa, yang dipeluk cuma Rere" canda Paman pada Bibi.
"Apa sih Ayah"
Aku hanya tersenyum melihat mereka yang terlihat begitu hangat. Aku berharap semoga rumah tangga ku kelak akan seperti paman dan Bibi yang saling melengkapi dalam kekurangan masing-masing.
"Assalamualaikum" suara Tante Rianti yang baru saja tiba dan menghentikan drama malam ini.
"Sepertinya kita datang diwaktu yang salah" canda Tante Rianti.
"Wa'alaikumsalam, ayooo silahkan masuk, rame yaaa?" Kata Bibi yang melihat rombongan Tante Rianti.
"Iya nih, katanya pada mau lihat calonnya Abrar" jelas Tante Rianti.
Abrar. Mungkin nama pemuda yang sebentar lagi jadi suamiku.
"Jadi kamu calonya kak Abrar?" Tanya seorang gadis yang sudah menarik tanganku duduk di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...