🏵 DUA LIMA

682 49 0
                                    

12 Oktober 2020

Rania POV

Tiga bulan kemudian....

Aku tak pernah mendengar kabar dari kak Aldo sejak kejadian hari itu. Menyuruhku menunggunya. Bodoh. Dengan penuh harapan aku mempercayai kata-katanya. Entahlah sejak pertemuanku yang terakhir kalinya, dalam hati kecilku sangat menunggu kedatangannya.

Akhir-akhir ini Abrar mulai bersikap baik padaku, aku juga tak pernah mempermasalahkan bagaimana ia memperlakukan Renata di depanku. Akupun lebih memilih meminta tolong pada Renata menemaniku cek up dirumah sakit ketimbang pergi bersama Abrar.

Sesekali Renata mengajakku sholat bersamanya, mengajarkanku membaca Al-Qur'an. Perlahan aku mulai mengenal keyakinan ku, tak pernah kubayangkan wanita yang sempat ku benci karna merebut Abrar dariku ternyata adalah wanita yang hebat dengan penuh kesabaran. Membawaku menuju jalan kembali kepadaNya.

Entah kapan terakhir aku meminta dan bersujud padaNya. Hal itu sangat jarang kulakukan. Aku hanya melakukannya jika Abrar datang berkunjung ke apartemenku. Mengajakku sholat berjamaah dengannya. Imam yang sempat menjadi mimpiku ternyata adalah milik Renata.

Sungguh kita tak pernah tau pada siapa hati itu sebenarnya ditujukan, aku hanya mengingat berapa dosa yang kubuat sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku hanyalah seorang hamba. Begitu hina dan punya banyak kesalahan.

"shadaqallahul-‘adzim" kataku mengakhiri bacaan Qur'an.

"Masyaallah. Bacaanmu makin hari makin baik"

"Terima kasih Sudah membimbingku"

"😊"

"Masih belum ada kabar dari Aldo?" Tanya Renata yang memang sudah mengetahui cerita antara aku dan kak Aldo.

"Hmnnnn.., aku tidak akan memikirkannya lagi Re, aku akan fokus pada bayiku"

"..."

Mungkin aku sudah memiliki perasaan pada kak Aldo. Entahlah tiba-tiba aku merasa senang tiap kali kuingat perkataan kak Aldo yang memintaku menunggu dan menikah dengannya.

Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, rasa rindu yang ingin sekali melihatnya, mengkhawatirkannya apakah dia baik-baik saja disana. Rasa gelisah yang tak bisa membuat tidurku terasa nyenyak, terlebih saat ini nomor yang sering dipakainya menghubungiku tak aktif.

"Rania, sholat magrib bareng yukk" ajak Renata yang sedikit membuyarkan lamunanku.

"Abrar yang jadi imam?" Tanyaku begitu sampai di ruang tengah yang sudah disulap dengan beberapa sajadah disana.

"Iyaaa, kan cuman dia yang laki-laki disini"

"Aku sholat di kamar saja Re, rasanya tidak nyaman dengan ini, Abrar mungkin juga tidak menyukainya"

"Allah tidak pernah membedakan hambanya, atas dasar apa Abrar memiliki hak menentukan makmumnya"

"..."

Ini pertama kalinya aku diajak sholat berjamaah oleh Renata bareng dengan Abrar. Meski terkadang Abrar bersikap baik padaku tapi rasanya sangat canggung dengan hal ini.

Dengan dua kalimat salam diakhir sholat. Pandanganku tertuju pada sajadah yang terbentang tepat di bawah Renata. Sajadah yang sedikit mengingatkanku pada Papa. Motif dan warnanya sama persis dengan pemberian Papa saat aku baru saja lulus SMA.

"Berdoa" bisik Renata padaku.

"Aamiin"

"Sajadahnya bagus Re"

Sepasang Sajadah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang