27 Juli 2020
Abrar tertidur sambil memegang tangan Rania. Sebisa mungkin ia menjaga Rania dari perbuatan konyolnya.
Abrar baru pulang dari rumah sakit, begitu ia menemukan seseorang yang cocok untuk menjaga Rania.
Sesampai dirumah ia melihat sekeliling, sepertinya Renata sudah pergi ke kantor. Namun sarapan dimeja mengalihkan pandangannya.
Sebuah coretan diatas kertas berwarna kuning menempel di meja dekat sarapan dua potong roti dengan selai kacang, "tidak masalah kau sibuk, tapi jangan lupa sarapan" Abrar hanya tersenyum membaca catatan istrinya. Sepertinya Renata sudah mulai mengkwatirkannya.
--oOo--
Renata POv
Abrar belum saja membalas pesan yang kukirim sejak semalam, aku juga tidak ingin menelfon nya terus-terusan. Aku cukup malu untuk melakukan hal itu.
"Hai Rere ku sayang" kata Winda yang menghampiriku dengan setumpuk berkas.
"Banyak banget"
"Revisi" jelas Winda.
"Fadil mana?" Tanyaku pada winda.
"Ng tau kemana, tadi pergi sama sazkia"
"Cemburu yaaa" godaku pada Winda.
"Apaan sih" kata Winda sebelum akhirnya kembali ke mejanya.
Sahabat ku ini memanglah sungguh menggemaskan.
Sebuah pesan masuk ke hendpon ku. Tuan Menyebalkan. Akhirnya ada kabar darinya, aku begitu antusias membuka pesan tersebut.
"Jam makan siang nanti, bisa keruangan ku sebentar" hanya itu???... Batinku begitu membaca pesannya. Ia bahkan tidak menjawab pesan yang kuberikan. Sudahlah, yang penting aku tau, dia baik-baik saja.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, bunyi perut sudah menggelegar di ruangan ini. Jam yang sangat dinantikan oleh para karyawan seantero dunia.
"Kantin yukkk" kata Fadil yang tiba-tiba menghampiriku.
"Maaf yaa, aku ng bisa. Aku ada urusan diluar sebentar" kataku pada Fadil.
"Yaaa ng seru"
"Kalau mau seru ajak sazkia aja!!" Kata Winda yang baru saja merapikan mejanya.
"Kenapa sazkia?"
"Yaaa kali, pagi-pagi yang udah sarapan bareng" lanjut Winda dengan wajah masamnya.
"Udah, kalian makan berdua dulu, nanti aku nyusul kalau ada waktu"
"Emang mau kemana sih?" Tanya Winda penasaran dan kujawab hanya dengan senyum yang mengembang.
Buru-buru aku meninggalkan mereka, sempat kudengar bahwa Winda akan makan siang sendiri saja. Kutau anak itu pasti cemburu melihat Fadil dan sazkia tadi pagi.
Seperti biasa bila lift penuh, aku hanya bisa menekan tombol angka sepuluh dan lebih memilih turun menggunakan tangga untuk menuju ke ruangan Abrar. Dilantai sembilan hanya ada ruangan Abrar dan beberapa staf khusus kepercayaan Abrar, jadi tak banyak yang tau siapa diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...