21 Juli 2020
Abrar POV
Sudah hampir seminggu, sejak kejadian memilukan itu dirumah Mama. Menurutku Renata tak menjadi wanita yang ajaib lagi, kurasakan perlahan sikapnya mulai berubah. Dan aku menyukai hal itu.
Suara deringan handphone menghentikan aktivitasku memberi makan beberapa ikan dikolam, tentu saja itu adalah ikan peliharaan Renata yang diambil dari rumahnya dahulu.
"Aku kesana sekarang" kata ku sambil mengambil kunci mobil diatas meja.
Kulihat Renata baru saja kembali dari rumah mbak Salma. Mengingat acara tujuh bulanan mba Salma diadakan tiga hari lagi.
"Kamu mau kemana?" Kata Renata begitu melihatku didepan pintu.
"Ada urusan sebentar, aku pergi dulu. Assalamualaikum" kata ku pada Renata.
Buru-buru kukendarai mobil hitam ini. Melaju dengan kecepatan sedang, jalanan begitu renggang sehingga membuatku cepat sampai ke tujuan.
"Dion?" Teriakku pada Dion yang bersandar didinding rumah sakit.
Rania mencoba melukai dirinya sendiri. Entahlah, semoga tidak terjadi apapun padanya.
"Bagaimana dengan Rania?" Tanyaku pada Dion.
"Entahlah, saat kau menyuruhku mengantarkan beberapa berkas padanya, tak sengaja aku sudah melihatnya terbaring lemas disofa apartemennya dengan mulut yang sudah berbusa"
"Astagfirullah" kata ku mendengar ucapan Dion. Bersamaan dengan itu dokter pun keluar.
"Bagaimana dengan kondisi Rania dok?" Tanya ku pada dokter.
"Apa anda suami ibu Rania?"
"..."
"Istri bapak baik-baik saja, dan Alhamdulillah bayi dikandungan nya juga sehat, untungnya pasien segera dibawa kerumah sakit" kata dokter menjelaskan.
Bayi. Rania hamil?. Aku melirik Dion sekilas sepertinya ia juga terkejut mendengar perkataan dokter.
"Kau tidak melakukan apapun pada Rania kan?" Tanya Dion padaku.
"Astagfirullah, untuk apa aku melakukan hal itu, kalau aku sendiri punya istri"
"Tapi kau tidak mencintai istrimu Brar, kau mencintai Rania" jelas Dion.
"Demi Allah, aku tidak pernah melakukan apapun padanya"
Disinilah aku sendiri menatap wajah gadis yang masih mengisi ruang hatiku, Dion pergi setelah semua pekerjaan kuserahkan padanya untuk saat ini.
Sedikit pergerakan dari tangan kiri Rania.
"Sayang, kau sudah bangun?"
"..."
Kulihat Rania tiba-tiba bergetar, ia menangis dengan wajah tertunduk.
"Aku membenci laki-laki itu" teriak Rania histeris sambil mencabut selang infus ditangannya.
"Biarkan aku mati saja, aku tidak ingin hidup lagi" lanjutnya.
"Rania...." Kataku sambil memeluknya dalam pelukanku.
Isakannya begitu deras. Entah apa yang baru saja ia lalui hingga membuatnya seperti ini. Rania bukanlah gadis nakal seperti yang kalian bayangkan. Itu sebabnya aku masih disini menunggu penjelasan darinya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Kataku begitu melihatnya sudah mulai tenang.
"..."
"Sayang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...