17 Agustus 2020
Renata POV
Saat perjalanan menuju rumah kak Tio dan mbak Salma, sedari tadi hendpon ku bergetar, tak berani ku angkat. Sebab nama manajer ku disana. Pak Darwis. Aku cukup malu bahkan tidak ingin bertemu lagi dengannya. Mengingat bahwa ia tau siapa diriku.
"Hallo" kata Abrar yang tiba-tiba mengangkat telfon dari pak Darwis.
"..."
"Kau tau sendiri kan, hari ini acara tujuh bulanan kakakku. Jadi istriku tidak bisa hadir"
"..."
"Terima kasih" kata Abrar sambil menyerahkan handpon ku.
Aku hanya meliriknya kesal. Sungguh dia sangat menyebalkan.
"Rapatnya diundur sampai besok" kata Abrar.
"..."
"Marah lagi..?"
"..."
"Renata, kalau kamu ng hadir disana bareng aku, nanti mama..."
"Iyaaa Abrar, semuanya sudah terjadi. Dan aku sudah disini" kata ku berusaha tenang.
Kediaman iparku ini cukup ramai yang telah dipenuhi dengan anak panti, tanpa sanak keluarga karna mereka tinggal ditempat yang sangat jauh.
Kulihat seorang anak kecil yang kutau bernama Zahra, terlihat jelas di pin jilbab putihnya.
Mata bulatnya yang hitam dengan bulu mata yang begitu lentik, suara khasnya bergema dengan sholawat yang diucapkannya. Sangat mengemaskan.
"Lucu-lucu yaa anaknya?" Kata Mama ternyata memperhatikanku sedari tadi.
"Iyaaa Ma" kataku berbisik.
"Kalau mau, bilang sama Abrar. Ng pp kalau perempuan yang minta duluan, kan udah sah"
"..." (Maluuuu😊)
Pembahasan mama sudah diluar kendaliku. Aku menuju dapur, mungkin ada minuman segar yang bisa menetralkan wajahku.
"Cari apa?" Kata Abrar yang entah dia muncul dari mana.
"Mau bikin sirup"
"Sekalian buat aku satu yaaa!!!!"
"Hmnnnn"
Kuambil dua gelas ramping didalam lemari, namun kurasakan pandangan Abrar masih tertuju padaku. Sejak kapan ia hobbi memandangi seseorang..? aku juga tak tau.
Abrar mengangkat telfonnya saat ingin ku beri segelas sirup yang kubuat untuknya. Rahangnya tiba-tiba mengeras, entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya membuat Abrar tak tenang.
"Aku pergi sebentar bilang aja sama mama kalau dia nanya, aku ada urusan sebentar"
Belum sempat kutanyakan ada apa, ia sudah berlalu dari depanku.
Acara tujuh bulanan ini, akhirnya selesai. Kegembiraan serta tawa anak-anak kecil kian menghilang. Hanya suara lelah dari mbak Salma yang terdengar.
Sungguh indah keluarga ini, bisakah aku dan Abrar seperti ini. Saling memberi cinta, dan saling melengkapi. Biarkan hanya Allah yang mengetahui isi hatiku.
Hujan turun begitu derasnya, jam menunjukkan pukul tujuh malam, sejak siang tadi Abrar belum kembali. Beberapa kali ku telfon namun hanya suara sang operator yang menjawab.
Mama dan papa sudah kembali kerumahnya sejak sore tadi, mereka tidak bisa menginap karna masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan papa.
"Telfonnya ng diangkat?" Kata mbak Salma, yang memang sedari tadi menemaniku menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...