Abrar terbangun dengan linangan air mata, tiba-tiba ia mengingat kejadian enam tahun yang lalu. Kejadian yang menjadi awal kepercayaan itu menghilang.
Dan disinilah Abrar beserta keluarganya sekarang, dirumah minimalis yang bernuansa putih demi mewujudkan keinginan mama tersayangnya.
"Alhamdulillah" kata semua orang begitu mendengar ucapan seorang gadis yang menerima lamaran dari pihak Abrar.
--oOo--
Renata POV
Aku begitu senang melihat senyuman semua orang begitu mendengar jawaban dariku, kulihat Bi Asih yang menangis terharu, aku pun ikut memeluknya. Kurasakan apa yang difikirkan bibi.
Kupandang mereka satu persatu yang sibuk tersenyum, begitu kental kebahagian disana. Namun satu yang mengalihkan perhatianku. Abrar. Yaa samar-samar terlihat raut kesedihan di wajahnya, apakah dia tidak menyukai perjodohan ini???
Masih kupandangi wajah itu sesekali, dan tak sengaja pandangan kami bertemu. Deg.
"Ma, Pa..., Aku balik duluan ya. Ada yang masih harus aku urus" kata Abrar.
"Loh bukannya kamu..." Kata Rianti pada putranya itu.
"Ng bisa Ma, harus Abrar yang pergi" kata Abrar yang memotong perkataan Rianti, seolah mengetahui maksudnya.
"Ya sudah, kamu hati-hati" kata Paman dengan lembut.
"Terima kasih" kata Abrar yang juga sedikit melirik padaku.
Dalam keheningan malam, kembali ku bersimpuh menghadap padaNya, Allah yang maha segalanya.
Kubentangkan sajadah coklat pemberian dari Mama saat usiaku menginjak tujuh belas tahun. Sebuah hadiah terindah yang pernah kudapatkan sehingga ditiap sujudku setidaknya, aku masih merasakan kehadiran mama disampingku. Sajadah yang begitu indah seperti dibuat khusus untuk mama, terlihat ukiran namanya dengan huruf hijaiyah di balik sajadah tersebut. Aisyah.
Segala keluh kesah memohon petunjuk dariNya, kesiapan hati dalam membangun rumah tangga yang pastinya semua wanita mengharapkannya.
Seperti biasa aku kembali mengutak atik computer didepanku, menyelesaikan pekerjaan yang tertunda karena acara kemarin.
"Sorry yaa, aku ng bisa datang ke acara lamaran kamu kemarin" kata Winda dengan wajah yang dibuat sedih.
"Iyaa ng pp kok" kataku datar.
"Tuhhh kan, kamu marah yaa"
"Hahahhaha, kamu tuh lucu yaa"
"Apasih, aku pikir kamu beneren marah"
"Aku benar-benar akan marah jika nanti acara nikahan ku kamu ng datang"
"Siappp" jawab Winda dengan tangan seolah hormat padaku.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, yang menandakan jam isterahat dimulai.
"Hai, makan siang yukks" kata seorang pemuda bernama Fadil.
Fadil adalah seorang pemuda yang juga bekerja di departemen yang sama denganku bedanya dia sudah setahun lebih bekerja sedangkan aku mungkin baru sebulan. Dia pemuda yang baik dan pastinya rajin sholat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...