15 September 2020
Renata POV
Kupandangi langit malam yang sedikit mendung, sesekali ia mengeluarkan kilatnya. Di sebuah balkon depan kamarku. Aku memikirkan semua hal yang telah terjadi hari ini.
Abrar sudah tertidur sejak tadi, mataku tak cukup lelah untuk terlelap. Aku memutuskan untuk mengerjakan beberapa file yang akan kubawa ke kantor besok. Anehnya disaat seperti ini aku malah memikirkan mata sinis pak Darwis.
"Sayang, kau belum tidur?" Kata Abrar yang sedikit mengagetkanku.
"Hmnnnn"
"Masuklah, diluar sangat dingin. Sepertinya sebentar lagi akan hujan"
"Ahhhh, iyaa"
"..."
"Ada apa?"
"Tidak ada"
"Kalau begitu tidurlah" kata Abrar yang langsung menutup leptop di depanku.
"Apa yang kau lakukan, aku bahkan belum mengsave file nya"
"Besok saja, sekarang sudah larut malam, kau tidak ingin terbangun dalam sepertiga malam"
"..."
"Sayang...."
"Hmnnnn, Abrar..., Kutau kita baru saja menyelesaikan masalah yang menurutku begitu sulit, tapi bisakah kau memanggilku seperti biasanya.., jujur itu terdengar sedikit... Aneh"
"Apa salahnya.., kemarin juga seperti itu, dan mulai sekarang kau harus terbiasa dengan panggilan itu"
"Tapi Abrar..."
"Tidurlah, atau kau ingin melakukan hal lainnya?"
"..."
Aku kembali terbangun dalam rutinitas ku disepertiga malam. Kupandangi Abrar yang masih tertidur.
Aku melangkah mengambil air wudhu sebelum membangunkannya. Tak kusangka kejadian ini dapat terulang kembali. Maha besar Allah yang punya segala rencana diluar batas kemampuan hambanya.
"Brar..., Bangunnn"
"..."
"Abrar.., aku sholat duluan kalau gitu"
"Iyaaa, dari tadi udah bangun kok. Cuman nunggu kamu bangunin"
"..."
Kembali sepasang Sajadah itu terbentang, sajadah yang sering kugunakan dengan Abrar. Begitu banyak luka yang telah berlalu, esok adalah hidupku yang baru.
"Allahu Akbar"
Lantunan syair Qur'an yang menggema diruang kamar, melafalkan setiap ejaan serta melanjutkan bacaan yang sempat tertunda, aku tertunduk sembari mengingat permintaan konyol yang sering kuucapkan pada Abrar. Begitu bodohnya aku yang hampir terperdaya oleh syaitan yang penuh penghasut.
"Ada apa?" Tanya Abrar yang tiba-tiba melihat ku terdiam.
"..."
"Aku minta maaf selama ini aku masih belum bisa menjadi suami yang baik untukmu"
"Tidak. Akulah yang harus meminta maaf, selama ini aku menjadi istri yang begitu egois. Hanya memikirkan diriku sendiri, tanpa memikirkan ternyata kau juga begitu sulit"
"Aku yang memiliki banyak kesalahan, hingga aku lupa memikirkan perasaan istriku sendiri. Sungguh aku benar-benar meminta maaf"
"..."
"Bismillahirrahmanirrahim, diwaktu yang indah ini, izinkan aku menjadi suami yang baik untukmu, jadikan aku satu-satunya pundak untukmu bersandar" kata Abrar tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...