1 September 2020
Hello September....., Yeyyyyy awali September dengan ceriah... Happy reading...😘
Renata POV
Selain penggoda ternyata Abrar juga seorang pemaksa. Entahlah....
Sedari tadi aku sudah mendiaminya, mulai di mobil hingga sampai dirumah. Dia sangat menyebalkan.
"Kau marah?"
"Aku belum siap untuk mengungkapkan statusku Abrar"
"..."
"Aku takut, aku merasakan sesuatu akan terjadi"
"Semuanya akan baik-baik saja, percayalah padaku" kata Abrar yang memelukku dengan hangat.
"Tapi tunggu sampai aku siap Abrar"
"Baiklah"
Suara azan magrib berkumandang, ku akhiri acara pelukan melow ini.
"Aku mandi duluan, kau mau ke mesjid?" Tanyaku pada Abrar.
"Tidak, kita sholat dirumah saja"
"Hmnnnnn"
Seperti biasa kusiapkan segalanya, termasuk baju kokoh dan sajadah yang kubentangkan.
Sedari tadi suara deringan handpon Abrar berbunyi, aku tak berani mengangkat panggilan tersebut, tapi lama-lama deringan itu kian berbunyi seolah ada info kejadian penting.
Kulihat nama Rania tertulis jelas disana, tak sempat ku angkat panggilan tersebut dan sebuah pesan membulatkan mataku.
"Besok aku harus periksa kandungan, kau bisa menemaniku kan?"
Kandungan. Rania hamil?
Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin Abrar melakukan tindakan seperti itu.
Sepertinya aku tak begitu khusuk dalam sholatku, pikiranku masih mengarah pada Rania. Abrar kumohon jangan hilangkan kepercayaanku.
"Kamu tidak ingin menceritakan sesuatu?" Tanyaku pada Abrar saat ingin merapikan sajadahnya.
"Hmnnn, ada apa?"
Mungkin hanya perasaanku. Aku hanya perlu untuk mempercayainya.
"Entahlah, mungkin hanya perasaanku" kata ku pada Abrar.
Kupandangi wajah Abrar yang sudah terlelap sedari tadi. Wajahnya terlihat begitu teduh. Sekali lagi aku akan mempercayaimu.
Dikantor kulirik jam menunjukkan pukul sepuluh siang, perasaanku tak tenang, mungkin karna pesan Rania semalam.
Terlebih Abrar baru saja memberi kabar akan kerumah sakit sebentar.
Memang lucu kisah ini. Memaksakan perasaan yang sudah jelas tak bisa kumiliki. Sangat menyedihkan.
Aku kembali ke rumah dalam keadaan sunyi, segera kurapikan beberapa pakaian yang akan ku bawa ke Paris besok. Entahlah aku bahkan ragu dengan tindakanku saat ini.
"Assalamualaikum" kata Abrar yang baru saja masuk ke kamar.
"Wa'alaikumsalam" jawabku datar.
"Lagi ngapain?"
"Beres-beres"
"..."
Hening. Aku begitu benci dengan keadaan seperti ini. Aku seolah tak punya pilihan dan hanya mengikuti kemana alur membawaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...