24 Agustus 2020
Renata POV
Hujan telah reda, sedikit berbincang dengan Aldo membuatku sedikit terhibur.
Awalnya sempat kaget begitu melihatnya yang langsung mengulurkan tangan dan memperkenalkan namanya. Aneh. Tapi ternyata memang ia orang yang ramah, dan itulah yang kusimpulkan begitu bertemu dengannya.
"Kalau begitu duluan yaa Do" kataku pamit undur diri karna hujan mulai reda.
"Iyaa silahkan"
Sebuah mobil hitam sudah terparkir depan rumah.
Abrar.
Kuhembuskan nafasku gusar sebelum melangkah masuk kedalam rumah.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
"Rere...."
"Aku lelah Abrar, aku mandi dulu" kataku yang melihat Abrar menghampiriku.
Belum sanggup rasanya berbicara dengannya setelah apa yang terjadi. Perasaanku selalu mengatakan untuk memberinya kesempatan, namun nyatanya egoku tak bisa menerimanya.
Dalam heningnya malam, aku dan Abrar saling diam tanpa kata, hanya kicauan sendok dan garpu yang mengadu di ruang makan ini.
"Kau dari mana?" Tanya Abrar. Tapi pertanyaannya membuat ku tersenyum kecut. Bukankah akulah yang pantas menanyakan hal itu.
"Dari makam mama" jawabku.
"Maaf, tidak menepati janjiku"
"Tidak apa Abrar, aku sudah terbiasa kesana sendiri, jadi wajar saja" kata ku yang seolah menyindirnya.
"..."
"Aku sudah kenyang, panggil aku begitu kau sudah selesai. Biar aku yang merapikannya"
"Kau marah"
"Tidak. Mana berani aku marah padamu"
Sudah kukatakan, saat ini bukan saatnya untuk berbicara dengan Abrar. Yang ada hanyalah kekacauan, sebisa mungkin kutahan egoku, biarkan saja dulu seperti ini. Terkadang diam lebih baik dibanding berbicara dengan penuh kemarahan.
"Rere, aku sudah kenyang" kata Abrar, begitu melihatku menjauh dari ruang makan.
Menatapnya jengah, kuambil piring bekas ia makan malam, kurapikan meja sebelum melangkah untuk mencuci piring.
"Biar ku bantu" kata Abrar menghampiriku.
"Tidak perlu, kau pasti lelah seharian di luar rumah"
"Rere, aku pergi menemui Rania" kata Abrar jujur.
"Aku tau itu"
"Aku menemuinya karna ia masuk rumah sakit"
"Abrar, kau bebas menemuinya kapan pun itu. Aku tidak berhak melarang mu, seharusnya aku tidak perlu hadir ditengah kalian. Hanya itu kesalahanku"
"Tidak, kau tidak pernah salah. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf" kata Abrar yang langsung memelukku dari belakang.
"..."
Kurasakan air mata Abrar di pundak ku, pelukannya makin erat. Aku sedikit bersalah sudah mendiaminya sedari tadi.
"Kau menangis?" Kataku pada Abrar sambil melonggarkan pelukannya.
Wajahnya masih tertunduk, ternyata dia memiliki sisi seperti ini juga. Menggelikan sekaligus menggemaskan.
"Abrar"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sajadah (END)
SpiritualBukan karna aku telah durhaka padanya, Sebuah janji telah menjadikanku budak pembangkang. Kesendirian bukanlah hal yang kuinginkan, namun takdir memberiku pilihan untuk sebuah keegoisan. Mungkinkah ini salah, atau sedari awal memang sudah salah...