٢٨ : DETIK-DETIK

542 14 2
                                    

"Maira... Kamu kenapa mai?" ucap aisya memanggilku sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Maira tidak apa-apa aisya" jawabku sok kuat.
Di dalam kamar mandi aku masih sesegukkan merasakan sakitnya hatiku.

Laki-laki yang selama ini aku tunggu,ada di depan mata ku. Namun, belum juga dia memenuhi janjinya itu. Sudah bertahun-tahun aku terpatri dalam jebakan cinta ini. Namun belum juga ada titik terangnya.

Ckrek...

Aku buka pintu di hadapanku. Dan benar,ada aisya berdiri di tempat itu.

"Aisya tau dari mana kalau Maira disini?" tanyaku pada aisya.

"Tadi aku tanya sama pak Ali" jawab aisya.

Aisya berlari keluar kelas untuk menyusul Maira. Ia mendapati Pak Ali, dosen barunya di depan kelasnya.

Kemudian aisya bertanya kepada pak Ali tersebut.

"Maaf pak,bapak lihat teman saya lari keluar atau tidak?" tanya aisya.

"Dia pergi ke kamar mandi sepertinya" jawab pak Ali.

"Terimakasih bapak.permisi" ucap aisya.

Kemudian aisya segera berlari menuju tempat dimana Maira berada. Dan benar,Maira tengah menangis di dalam kamar mandi.

"Jadi aku kesini. Kamu kenapa Maira?" tanya aisya kepadaku.

Bibirku membeku. Tak ada sepatah kata pun yang mampu menjawab pertanyaan singkat aisya.

Aku menangis dan memeluk erat tubuh aisya.

"Maira... Tenanglah. Jangan seperti ini. Aku jadi bingung" ucap aisya sambil mengusap lembut punggungku.

Aku renggangkan pelukanku tethadap aisya

"Aisya... Pak Ali, dosen baru itu. Dia juga pengasuh di pesantrenku. Dan,dia adalah Ali yang selama ini aku nanti" ucapku pada aisya dengan berusaha untuk tegar.

"Apa? Pak Ali... Itu orang yang kamu tunggu selama ini? Jadi itu orangnya,yang buat kamu sampai seperti ini" ucap aisya.

"Aisya... Maira mohon,jangan pernah memanggil nama Maira ketika ada Ali. Panggil Maira dengan nama Putri"

"Kenapa kok gitu?"

"Maira tidak tahu harus sampai kapan seperti ini. Yang pasti,maira belum mau membuka diri untuk dia"

"Baiklah... Tapi jangan nangis lagi ya. Jelek tau" ledek aisya.

"Biarin aja jelek. Emang udah jelek" balasku kesal.

-----

Jam pelajar pun sudah selesai,aku segera pulang ke pesantren. Mulai detik ini,aku berusaha menetralkan kembali perasaan ku kepada Ali atau Gus Ali atau Pak Ali itu.

Oh iya,aku tadi pagi mendapat undangan dari pak satpam. Tapi aku belum membuka undangan itu.

Aku mengambil undangan itu yang tersimpan di dalam tas ku. Aku ambil undangan itu dan aku baca.

Aku membaca undangan itu sampai aku tersenyum-senyum sendiri. Rasanya aku masih tidak sadar,sahabatku menikah lebih dulu daripada aku.

Aku sampai tidak kuat untuk melihat undangan itu. Tidak terasa sudah sampai di depan pesantren.

"Hey...tunggu..." ucap seseorang yang sepertinya memanggil aku.

Orang itu menghampiri aku. Dan benar saja,itu Gus Ali. Rasanya aku sangat malas.

"Ada apa Gus?" tanyaku malas.

"Liat itu" ucapnya sambil menunjuk undangan yang aku bawa.

"Ini" ucapku sambil menyodorkan undangan itu wajahnya.

"Eh...biasa aja dong. Ini aku juga dapet" ucapnya. What?aku kaget juga.

"Oh..." jawabku biasa aja.

"Ngomong-ngomong,kamu kesana sama siapa?"

"Tau"

"Sama saya mau?"

"Ha??" terkejut dong aku.

"Kamu mau,kesana barengan sama akuu? Aku malu nih,aku belum nikah nikah,tapi dia udah nikah duluan" ujar Gus Ali.

"Ha??? Kesana sama aku cuma buat gitu gitu an? Nggak mau aku!" jawabku tegas.

Aku pun segera pergi meninggalkan orang satu ini. Greget banget setiap ngobrol sama dia.

"Mau ya...mau...bantu aku. Nanti aku ijin dulu sama ummi,biar di bolehin" ucapnya memohon kepadaku.

Aku tetap melanjutkan tanpa memberi jawaban. Satu langkah sebelum masuk asrama putri, dia menarik jilbab ku.

"Apaan sih" ucapku kesal.

"Mau ya.."

"Tau"

"Nanti aku izin sama ummi"

"Terserah!" ucapku sambil menatap tajam matanya dengan penuh amarah.

Kutinggalkan dia di depan gerbang asrama. Aku bergegas masuk untuk menenangkan diri. Bukannya tenang,hatiku kembali terusik.

Rasa sakit yang entah itu datang dari mana,membuat aku tak kuat lagi. Aku duduk sendiri termenung di sudut kamar. Aku menahan rasa yang membuat hatiku sangat sakit.

Air mata ini kembali menetes. Kembali teringat masalalu. Kenapa dia seperti ini. Apakah dia tidak berusaha mencariku. Jujur aku sudah lelah dan ingin mengakhiri semuanya.

Mimpi yang ku rajut selama ini harus ku kubur dalam dalam lagi.

"Ibu...maira ingin pulang. Maira tidak mau seperti ini" ucapku lemah dalam tangis dan amarah ku.

"Ya Allah... Jika baik,dekat kan lah. Jika tidak baik,hilangkan perasaan ini sekarang juga. Sudah terlalu lama hati ini menunggu. Dan hanya kesakitan yang menghampiri"

Takdirku Bersamamu (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang