Happy reading!
******
Suara-suara yang berisik memenuhi gendang telinga Vanessa. Dirinya baru saja tiba di kelas sehabis membeli sebotol air mineral di kantin bersama Dania dan Felly. Bersamaan dengan itu, Dania dan Felly berdiri di depan kelas sembari meneriakkan nama Vanessa.
"Vanessa! Vanessa! Cepet keluar, Van!"
"Van, lo harus liat ini! Ini penting! Urgent, urgent!"
Vanessa mendecak. Sebenarnya ada apa lagi? Dan apakah itu sangat penting dan berpengaruh untuknya? Oh Tuhan, Vanessa ingin hidup tenang sekali saja.
Setelah menghembuskan napas, Vanessa mulai bangkit dari duduknya dan segera berjalan keluar kelas, menghampiri Dania dan Felly yang menunggu dirinya untuk melihat yang mereka katakan 'penting'.
"Apaan, sih?" ucap Vanessa dengan kesal. Dania dan Felly langsung membalikkan tubuh Vanessa ke belakang. Tepat di hadapan seorang laki-laki yang berdiri dengan tegap sembari tersenyum lebar ke arah gadis tersebut.
"Halo, Briggita."
Deg!
Vanessa terkejut. Tentu saja. Detak jantungnya pun sudah tidak dapat dikontrol kembali. Vanessa mati kutu di tempatnya.
Hanya dengan kehadirannya, Vanessa dibuat tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan untuk meneguk salivanya sangat susah bagi Vanessa.
Di hadapannya, berdiri laki-laki yang satu tahun lalu pernah mengisi hatinya. Mengenalkan pada dirinya apa itu cinta dan bagaimana rasanya pacaran. Laki-laki itu, yang memberikan Vanessa arti bahagia yang sederhana. Dan laki-laki itu pula yang memberikan rasa perih di hati Vanessa. Yang dengan pintarnya Vanessa tutupi selama ini, tak ingin siapapun tahu bahwa Vanessa masih menyimpan luka. Luka yang digoreskan oleh mantan pacarnya itu.
"Re..on? L--lo ngap--"
"Pindah sekolah. Gue pindah sekolah. Mulai sekarang, kita satu sekolah, Briggita. Gimana? Lo senang?" laki-laki yang dipanggil Reon itu, memotong kalimat Vanessa. Vanessa mulai mengendalikan dirinya. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki brengsek ini.
"Senang? Ngapain gue senang satu sekolah sama lo?" cecar Vanessa. Kini ia sedikit mengangkat dagunya. Agar terlihat angkuh, begitu pikirnya.
"Setelah apa yang lo lakuin ke gue, dan lo kembali ke hadapan gue dengan tampang gak bersalah lo itu, lo tau? Gue makin benci sama lo!" ujar Vanessa. Kini nadanya mulai naik beberapa oktaf. Dania dan Felly yang berada di belakang gadis tersebut mencoba menenangkan Vanessa agar ia tak kelepasan nantinya. Dua gadis itu mengelus-elus pundak Vanessa, berharap Vanessa bisa mengontrol emosinya.
"Lo ngapain sih, pindah sekolah ke sini? Emangnya gak ada sekolah lain?" tanya Dania dengan nada bicara yang ketus. Felly kini menatap Reon dengan dingin dan tajam. "Harus banget gitu pindah ke sekolah ini?"
Reon terkekeh di tempatnya. Beberapa murid kini sudah mencuri-curi pandang ke arah mereka. Ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Hhh, dasar netizen jaman sekarang.
"Kenapa? Kepala Sekolah juga gak ngelarang tuh," ujar Reon yang kini berjalan untuk lebih dekat ke arah tiga gadis tersebut. Muncul seringai di wajahnya, membuat Vanessa ingin sekali menendang wajah sialan itu.
"Lagipula..." lanjut Reon, menggantungkan ucapannya, membuat Vanessa, Dania, dan Felly penasaran.
Reon meraih dagu Vanessa, mendekatkan wajahnya sembari melanjutkan ucapan yang sempat ia gantungkan. "Gue kangen sama lo, Briggita."
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [COMPLETE]
Dla nastolatków****** Rasa benci yang berlebihan, bisa saja berubah menjadi cinta. Itulah yang dirasakan oleh David dan Vanessa. Awalnya, mereka saling membenci satu sama lain. Tiap hari selalu berkelahi dengan masalah yang sepele. Namun, sejak kejadian 'itu'...