34 = Reon and Reason

115 3 0
                                    

Happy reading!

                         ******

Di sudut kafe itu, Reon menunggu seseorang yang tiba-tiba saja mengajaknya untuk bertemu. Katanya, ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Reon tak tahu pasti hal itu apa, tapi ia menebak jika orang itu akan bertanya alasan di balik semua sikapnya akhir-akhir ini.

Ia sudah menunggu selama 15 menit, namun yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Tumben. Reon tahu, bahwa orang itu tak pernah telat. Ia selalu tepat waktu. Namun, lihatlah sekarang. Reon bahkan sudah menghabiskan setengah minumannya.

"Ck, lama banget, sih. Serius gak, sih, ngajak ketemuan? Atau dia cuma mau mainin gue aja?" gerutunya.

Ia menyeruput kembali minuman di hadapannya.

Tring!

Itu suara pintu kafe yang terbuka. Reon menoleh, berharap jika yang datang adalah orang yang ditungguinya sejak tadi. Dan ya, orang itu datang. Dengan langkah tergopoh-gopoh, ia menghampiri di mana Reon berada.

"Sorry, telat. Tadi ketiduran," ucapnya. Reon hanya meresponnya dengan mengangkat bahu tak peduli. Tak peduli apapun alasan orang yang kini berada di depannya. Ia hanya ingin mendengar inti dari pertemuan mereka ini. Apa yang penting untuk dibicarakan?

"Lo udah mesen, ya? Kalo gitu, gue mesen juga, deh. Haus, nih." orang itu kemudian beranjak untuk memesan minuman seperti Reon. Meninggalkan Reon sendiri lagi. 

Reon mendesah. Orang itu benar-benar tidak berubah. Membuat Reon merasa bersalah kembali.

Setelah memesan, ia duduk di hadapan Reon dan tersenyum tipis.

"Mau ngomong apa? Langsung aja. Gak usah basa-basi." ucap Reon dengan nada dingin. Reon bersedekap dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Enggan untuk menatap lawan bicaranya yang kini menarik napas untuk memulai menjelaskan maksud pertemuan ini.

"Sebenarnya, apa alasan lo di balik semua ini?" tanyanya yang menghadirkan kerutan di dahi Reon. "Alasan?"

"Ya, alasan. Lo tiba-tiba pindah ke sekolah gue dan ngusik gue. Maksud lo apa? Lo ada masalah?"

Ternyata dia masih sama. Briggita gue, sampai sekarang gak pernah berubah. Bolehkah kalau gue merasa bersalah karena udah nyia-nyiain cewek sebaik dan setulus dia?

Reon terdiam. Merutuk dalam hati, menyesali perbuatannya selama ini. Terlalu jahatkah ia?

"Kenapa lo mau tahu? Bukan urusan lo."

Orang itu--Vanessa--menghela napas dengan kasar. Reon tetaplah Reon. Keras kepala.

"Reon, gue... cuma pingin tau alasan lo aja. Gak lebih," ujar Vanessa dengan memohon. Ia tak akan menyerah, hingga Reon mengatakan alasannya.

"Penting buat lo?" tanya Reon dengan tatapan malas. Ya penting lah, bego! Kalo gak penting ngapain juga gue nanya! gerutu Vanessa dalam hati.

Reon menatap Vanessa sejenak. Meneliti wajah gadis itu. Lalu, tatapannya berhenti di luka goresan dekat pelipis. Ah, itu pasti karena terbentur bola basket yang ia lempar. Terlalu kencang, ya?

Refleks, tangan kanan Reon terjulur lalu menyentuh luka itu. "Ini pasti gara-gara gue, ya?"

Vanessa yang mendapat perlakuan tiba-tiba dari Reon hanya bisa terpaku. Samar-samar, ia menganggukkan kepalanya. "Iya..."

Reon menghela napas. Sepertinya sudah cukup ia melukai gadis di hadapannya ini. Ia sayang pada Vanessa, tapi sepertinya caranya menyayangi gadis itu salah.

For You [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang