Meskipun posisi gue hari ini di rumah sakit, gue masih diminta sama mama beli beras. Etdah, gimana mau belinya?
Kata Dokter gue sih enggak apa-apa, cuma kaget aja. Lebih kaget lagi pas sadarin diri, kakak-kakak gue, Mo-on dan papa gue ada di rumah sakit semua. Dikiranya gue mati mungkin, hahaha.
"Kami sudah dengar beritanya, kalau dari Dera sendiri, ya senang-senang aja," ucap kak Dera.
Punya adek lagi seneng? Kak, lo itu udah kuliah hampir semester akhir, bentar lagi juga nikah, dasar.
"Kalau Senja jelas." Kak Senja mengangguk-anggukkan kepalanya, "jelas tidak siap!"
Nah, gue suka nih, gaya kakak gue yang satu ini. Sepemikiran.
"Venus? Mama pasti sudah tahu jawabannya, sampai Venus pingsan tadi," ucap gue.
"Mo-on juga enggak mau punya adik, karena Mo-on adalah adik!" Mo-on mulai menangis. Duh, baperan.
Posisi sekarang satu banding tiga. Tahu, kan, siapa yang menang? Tapi siapapun yang menang nanti juga bakalan kalah karena enggak mungkin di aborsi. Dosa.
"Mo-on kan udah jadi adik... kenapa harus punya adik lagi... mama sama papa mau buat kayak Gen Halilintar ya?!" lanjut Mo-on lagi.
"Papa sih, siap-siap aja buat kayak Gen Halilintar," balas papa.
Pa, plis deh. Itu si Mo-on tuh enggak mau lebih.
"Bener, pa. Lebih banyak anak, lebih baik!" balas mama.
Kemudian semua rusuh di rumah sakit. Sebagian setuju, sebagian enggak. Gue pusing, akhirnya gue pulang tanpa memperdulikan mereka sampai diusir sama satpam karena mengganggu.
Seharusnya hari ini gue sekolah, cuma tiba-tiba gue males banget, yang gue pengenin cuma rebahan di kasur sambil main game kalau enggak curhat sama Rose.
Gue pulang berdua sama Jenie. Melewati jalanan yang cukup sepi. Setibanya di rumah, gue lapar. Gue buka tudung saji tapi enggak ada makanan. Gue buka panci, cuma nemu sop yang airnya udah surut. Gue buka rice cooker tapi enggak ada isinya. Terus gue mau buat nasi, tapi berasnya habis.
Oh, makanya tadi di rumah sakit mama minta gue beliin beras. Ternyata habis. Gue kira disuruh beli beras gara-gara mama gue ngidam.
Sial banget gue hari ini.
Gue keluar rumah lagi, mau beli beras. Terpaksa juga gue harus ke minimarket kemarin, cuma itu paling dekat.
Gue jalan kaki aja biar sehat. Oh iya, sampai sekarang gue enggak tahu dimana keluarga gue sekarang. Pikiran gue sih, di kantor polisi. Karena kalian juga tahu seribut apa keluarga gue, apalagi kalau panas-panasnya, ada yang nyenggol dikit langsung bacok.
"Mbak, mau beli beras," ucap gue setibanya di minimarket. Gue enggak tahu beras yang sering dibeli sama mama gue. Terus gue mau minta rekomendasiin beras yang bersih, yang enggak ada kerikilnya gitu.
Petugas minimarket itu enggak merespon. Ia masih sibuk ngetik sesuatu. Gue ulang lagi, "mbak beli beras. Yang bersih tanpa kerikil, enaknya pakai merk apa ya?"
Tidak ada respon lagi. Gue coba pikir positif. Mungkin musik minimarket nya terlalu keras. Gue naikin suara gue, "MBAK BELI BERAS! YANG BAGUS!"
"Datang-datang langsung nyetak. Saya enggak budeg ya, mas!" Akhirnya dibalas juga. "Berapa biji, mas?"
Lah, bambang! Emosi gue mulai di puncak. Dari tadi gue disini! Tadi katanya enggak budeg, tapi kenapa tanya berapa biji, anjir. Seharusnya berapa kilo gitu, kan?
Ya akhirnya saking gue keselnya, gue bales, "150 biji ya, mbak. Sekarang. Buru-buru soalnya."
"Oke mas, bentar ya!" balas petugas tersebut.
Dan asal kalian tahu, berasnya dihitung beneran, satu persatu gitu. Anjir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tjinta & Tinja - Cinta & Tai ✔
Humor[do]AKAN TERBIT. Author tidak tanggung jawab jika ada pembaca yang tidak bisa berhenti tertawa. Ini cerita humor yang receh sekali antara kehidupan, cinta dan tahi dari kehidupan Venus. Dipersilahkan untuk berimajinasi saat membaca. Bahasa tidak bak...