Kisah singkat malam itu
|
sugarcypher*
*
*Fanfiction. Boyslove. Sad
*
*
*Berkali-kali Jimin menyibakkan rambut pirang akibat cat yang ia berikan satu bulan yang lalu itu. Wajahnya berminyak dan mengkilap kala terang lampu menerpa. Jaket jeans itu bertengger ditubuh kecilnya, lalu kaos putih di dalamnya sudah basah karena keringat.
"Aku nggak setuju kalau kamu keukeuh mau kesana, hyung." Jimin mendelik.
"Kenapa?" aku menyekop satu ice cream ditangan.
"Terlalu jauh! Bisa patah kakiku kalau aku ikut denganmu." keluhnya.
"Ya nggak usah ikut! Gitu saja susah."
Jimin cemberut mendengarnya. Ia berjalan duluan meninggalkanku yang sibuk dengan ice cream coklat pemberiannya (karena katanya Jimin sudah kenyang), lalu dikasihkan padaku.
"Kita menyewa tempat saja untuk malam ini." tiba-tiba Jimin berteriak dari jauh di depanku.
Aku menatapnya. Membuang tempat bekas ice cream itu sembarang, lalu berlari menyusulnya.
"Memangnya kita pegang uang?"
Jimin diam. Melirikku dengan senyum tertahan diwajahnya. Kami selesai menelusuri hutan di selatan yang katanya punya pemandangan elok nan rupawan. Ternyata memang benar, disana tak mengecewakan. Aku dan Jimin naik kereta dan rela berjalan kaki sejauh— pokoknya jauh, untuk bisa sampai ke hutan itu. Nyatanya pohon-pohon hingga tanamannya memang unik. Banyak orang yang mengabadikan keindahan disana dengan jepretannya. Tapi kami tak bisa seperti mereka. Aku, maupun Jimin tak punya alat yang bisa menangkap gambar seperti orang-orang itu. Jadi kami hanya mengenang di balik kepala saja.
"Lalu bagaimana?" Jimin bertanya, tangannya liar menggait lenganku.
"Nggak tahu," kubilang.
Ia mendengus. "Jangan nggak tahu-nggak tahu saja! Aku juga kedinginan, kamu nggak khawatir kalau aku sakit nanti?"
Kudiamkan saja dia. Malas sekali kalau dipikir punya orang yang selalu tak bisa berpikir tenang walau sebentar saja. Semua harus sempurna dan terorganisir baginya. Tidaklah buruk, hanya untukku, itu akan sedikit meresahkan. Tapi anehnya Jimin masih tak bisa kutinggalkan, karena begitu raganya tak ada dipenglihatan— pikiranku bak tentara yang diserang musuh secara diam-diam.
"Ih, ternyata benar kau tak khawatirkan aku!"
"Sudahlah, ini larut. Bisa ditangkap orang kalau kau terus saja mengoceh macam anak kecil begini."
"Lalu jawab aku kalau gitu!" ia terus saja menggoyang-goyangkan lenganku.
Aku berdecak tepat di depannya. Memasang raut masam agar ia sadar aku tak suka dengan tingkahnya ini. Jimin ikut pasang raut yang sama denganku. Kami adu masam-masaman.
"Masih kamu nanya, pertanyaanmu itu sudah keluar berapa kali dari mulut, hah? Kuhitung ada sekitar seribu, atau lebih?" aku berujar.
"Heh, malah bercanda! Aku serius, hyung. Sekarang kutanya ini saja— dimana kita akan tidur? Kolong jembatan, atau ditengah sawah menemani boneka-boneka penjaga itu?" kata Jimin ketus.
Intonasinya selalu cepat saat bicara. Tak sampai pendengaranku menangkap jelas. Tapi walaupun begitu, ia punya maksud baik saat berbicara panjang lebar. Entah ucapannya itu berisi, atau hanya sekedar kata-kata tak bermakna. Kadang jika tak mendengar suara itu sehari, bisa saja datang rindu. Hanya suara, lho. Belum termasuk orang dan segala yang ada pada dirinya.