Sýmpan | bluesugarrr
Zrshhh—Suara rintikan air yang terus menerus bersusulan menghantam bumi, menyapa pendengaran pemuda tersebut. Matahari bersembunyi di antara sekawanan awan kelabu yang masih tenang menghiasi langit senja hari ini. Bau hujan; Jimin sungguh menyukainya. Sangat alami, membuat pikirannya yang akhir akhir ini bekerja keras menjadi fresh. Dengan segelas cokelat panas di genggaman, ia terduduk pada salah satu kursi di teras. Sekitar sepuluh menit setelah diseduh, Jimin mulai menyesap cokelat panasnya. Ia mendesah pelan. Sial, masih terlalu panas, batinnya sedikit kesal. Gelas itupun ia letakkan pada meja kayu disebelahnya.
Menghela napas, Jimin bersandar pada punggung kursi. Mengamati hujan yang tampaknya tak berniat untuk berhenti. Perlahan ia memejamkan matanya, berharap ketika membuka mata orang yang dinantinya akan kembali.
;
"Terima kasih, paman," Jimin tersenyum penuh menerima sekantung plastik, kemudian membungkukkan tubuhnya sopan. Paman penjual ikan tersebut hanya mengangguk dan kembali melayani pembeli lainnya. Jimin melangkahkan kaki di tengah keramaian pasar dari kota kecil tempat ia tinggal. Bersenandung lirih lagu jadul yang akhir-akhir ini ia dengarkan.
Ia menghampiri seonggok sepeda tua yang sebelumnya ia letakkan pada dinding sebuah gedung. Meletakkan sekantong plastik berisi hasil belanjanya pada keranjang, kemudian ia menaiki sepeda tersebut. Mengayuhnya santai seraya menikmati hamparan sawah yang menyejukkan pandangan.
Pada momen ini, mau tak mau memori tentang dia kembali teringat. Dia yang dahulu menggunakan sepeda tua ini untuk membonceng Jimin tiap sepulang sekolah. Dia yang selalu melontarkan gombalan picisan khasnya di iringi kayuhan sepeda yang berirama. Walaupun terkesan biasa pada beberapa orang, tapi Jimin begitu menyukai kencan ala si dia.
Jimin tersenyum malu kala beberapa kalimat gombalan itu menari nari di dalam otaknya. Sebelum seorang lelaki paruh baya yang sepertinya pekerja di sawah berteriak padanya. "Hey, anak muda! Jangan tersenyum sendiri saat berkendara!"
Pipi jimin beresemu merah, ini sungguh memalukan. Kayuhan sepeda yang semakin cepat menjadi akhir senja kala itu.
;
Jimin benar-benar tak suka disaat seperti ini. Berbagai macam umpatan kesal terus menerus ia ucapkan dalam batin. Bagaimana bisa dia lupa jam pulang sekolah anaknya sendiri?
Sesampainya pada tempat tujuan, tergopoh-gopoh ia memakirkan sepedanya ketika melihat seorang anak perempuan terduduk sendirian di sebuah bangku. Jimin berlari kecil menghampirinya, dan anak itu seperti tak menyadari kehadiran Jimin, karena yang anak itu lakukan malah mengamati teman-teman yang bersama orang tuanya.
"Yoonji?" Panggil Jimin lirih. Anak 4 tahun itu lantas memutar kepalanya ke arah Jimin. "Papa lama sekali," ucapnya lirih dengan mata yang berkaca-kaca. Jimin yang tak tega pun mendudukkan diri dan memeluknya. "Maaf, papa harus mengurus beberapa pekerjaan," Jimin mengusap surai anaknya lembut. Hendak menjawab, Yoonji membuat pergerakan semakin memeluk erat Jimin pada pinggangnya, "Jangan berbohong, papa pasti hanya duduk melamun di dermaga tua, kan?"
Tubuh Jimin menegang sesaat. "Paman Jung yang memberitahuku, papa," Yoonji berkata seolah dapat membaca pikiran Jimin. "Papa hanya menikmati pemandangan disana, lain kali papa akan mengajak Yoonji juga," Sang ayah melepaskan pelukan dan menatap putrinya lembut. "Ayo pulang, papa sudah membelikan Yoonji susu pisang yang banyak!"
;
Alasan Jimin duduk termangu di dermaga tua itu satu. Si dia yang pergi mengarungi lautan namun kini tak pernah kembali.
Ah, tidak.
Dia belum kembali.
Dia masih disana. Diantara ombak yang mungkin tak pernah surut. Mengendarai kapal melawan air untuk mencapai daratan.
Empat tahun lalu. Si dia. Min Yoongi, meninggalkan Jimin dengan Yoonji yang masih kemerahan. Berpamit akan berlayar dan menyertakan janji untuk kembali. Berkata pada Yoonji bahwa "Appa akan segera pulang," seraya mengecup lembut pipi sang bayi.
Tiap harinya Jimin menunggu. Hingga pada suatu malam di musim dingin kala itu. Badai besar melanda. Segala berita tentang beberapa kapal yang hilang dan tak ditemukan mampu membuat Jimin menangis tersedu sedan. Berharap apa yang didengarnya hanyalah mimpi buruk semata. Berharap Yoongi datang memeluknya seraya berkata, "Aku disini," saat itu juga. Berhari-hari menangis dengan Yoonji dalam dekapan.
Namun Jimin memilih tak terus larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit. Yoonji kecilnya masih membutuhkannya. Tapi Jimin tak hilang harapan. Suaminya pasti masih bernapas, masih berlayar di tengah lautan sana. Entah kapan akan kembali.
Setiap sore Jimin dengan Yoonji duduk pada dermaga tua itu. Dermaga tempat Yoongi berangkat berlayar empat tahun yang lalu. Hingga mentari mulai tenggelam dan bulan menggantikan, Jimin dan putrinya akan beranjak pulang. Melewati jalanan sunyi seraya bersenandung lagu gembira bersama Yoonji.
"Yoongi, aku rindu sekali."
;
"Makannya pelan-pelan saja, Yoonji," Sang putri hanya menanggapi dengan cengiran lucu lalu memakan lagi makanannya tanpa banyak bicara. Jimin yang melihatnya tersenyum lembut, kemudian beranjak untuk membereskan beberapa peralatan yang ia gunakan saat memasak tadi.
Hanya terdengar dentingan sendok dan piring untuk beberapa menit, hingga Yoonji menghampiri Jimin untuk menyerahkan piring dan sendok kotor itu. "Papa, biar aku saja ya yang mencucinya,"
Jimin hendak menolak, sebelum terdengar suara bel berbunyi yang menyita perhatiannya. "eh? siapa datang bertamu pada malam hari?" Jimin berkerut samar. Bukan tanpa maksud Jimin mengatakan hal itu, karena hidup puluhan tahun di desa ini membuat Jimin mengerti, jika jarang sekali orang-orang keluar rumah pada malam hari, apalagi bertamu. Rasanya sangat aneh.
"Papa, biar aku saja yang membuka pintunya, ini piringnya," Ucapan Yoonji memecahkan pikirannya, refleks ia menerima piring tersebut dengan keadaan bingung.
Tersadar, Jimin berteriak gopoh, "E-eh Yoonji, biar papa yang membukanya!" Meletakkan piring pada meja, Jimin menyusul anaknya menuju pintu rumah.
Namun yang didapatinya malah seorang lelaki yang tengah berjongkok seraya bercakap dengan putrinya.
Jimin berjalan menghampiri anaknya dan lelaki tersebut. Dan ketika lelaki itu memilih beranjak berdiri dengan sebuah senyuman, tubuh Jimin menegang seketika.
Dia. Dia ada disini. Dengan senyuman yang sama.
"Semestaku, aku pulang,"
End.