25- Jealous

276 19 3
                                    

Kenyataanya hanya aku yang berharap. Sedangkan kamu, sibuk membangun kenyataan yang merusak harapanku.

****

Rea menghembuskan nafasnya kasar. Menatap pantulan dirinya lewat cermin besar di hadapannya. Bell pertanda istirahat selesai baru saja menggema di seantero sekolah. Dari luar terdengar suara derap langkah siswa-siswi yang hendak menuju kelas mereka masing-masing. Tak mengindahkan suara bell itu, Rea tetap bertahan dengan posisinya saat ini tanpa berniat melangkahkan kakinya keluar toilet menuju kelasnya di lantai dua.

Rea membasuh wajahnya, lalu mengambil beberapa tisu untuk mengeringkan wajahnya yang basah. Entahlah, tiba-tiba saja mood-nya mendadak berantakan hanya karena Alam mengacuhkannya tadi. Meliriknya sekilas saja Alam tidak ada. Andaika cowok itu tau, ia yang sudah bela-belain bangun pagi untuk membuatkan nasi goreng permintaan cowok itu, lalu bergegas keluar kelas menuju gedung IPS dan menapaki tangga menuju lantai tiga. Dan ketika melihat respon Alam yang hanya acuh tak acuh tadi, membuat Rea harus menelan bulat-bulat rasa kesal.

Apa-apaan sih tu cowok. Harusnya dia bilang makasih kek gitu ke gue udah di bawain bekal. Eh, ini boro-boro bilang makasih. Ngelirik gue aja, enggak.

Ingin rasanya Rea mencakar-cakar wajah ganteng cowok itu untung melampiaskan kekesalannya. Tapi lagi-lagi itu hanya ada di khayalannya.

Padahal ngarep banget tu cowok bilang makasih pakek senyum ke gue. Bukannya malah acuh kayak tadi.

Ting! Bunyi notifikasi pesan Line masuk membuyarkan kekesalan Rea. Cewek itu langsung mengeluarkan benda pipih itu dari saku seragamnya. Berharap kalau yang mengirimnya pesan adalah Alam yang mengirimkan kata-kata terimakasih.

Tapi lagi-lagi ia harus berdecak sebal karena isi pesan itu dari Nia yang mengatakan kalau guru yang mengajar sudah ada di dalam kelas. Dan menyuruhnya agar cepat masuk ke kelas.

Rea kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya, tidak membalas pesan yang dikirim Nia melainkan langsung melangkahkan kakinya keluar dari toilet.

Koridor lantai satu sangat sepi, hanya dirinya saja yang berjalan seorang diri. Matanya menatap kearah koridor gedung IPS yang sama saja kondisinya dengan koridor gedung IPA. Sama-sama kosong, tidak ada yang berkeliaran.

Rea berjalan dengan wajah menunduk, memikirkan apa yang tengah terjadi dengan dirinya. Kenapa juga ia harus uring-uringan seperti ini jika Alam mengacuhkannya. Toh, selama ini juga kan Alam memang sering mengacuhkannya. Cowok itu sibuk dengan dunia yang ia bangun sendiri. Kenapa juga ia harus menuruti permintaan Alam yang ingin dibuatkan nasi goreng. Ck, rasanya ia benar-benar bodoh karena mau-mau saja menuruti permintaan cowok itu. Dan lagi, kenapa Rea bisa berharap kalau Alam akan mengirimkannya pesan singkat yang berisikan ucapan terimakasih dari cowok itu. Harusnya itu bukanlah menjadi hal yang penting baginya.

Jangan-jangan gue bener lagi suka sama Alam?

Rea langsung menggeleng-gelengkankan kepalanya, menepis pemikiran gilanya yang mengatakan kalau ia menyukai Alam.

Nggak, jangan sampe!

Tak pernah terbersit di benaknya sedikitpun untuk menyukai seseorang. Bahkan ia sudah membangun benteng setinggi-tingginya agar tidak mudah untuk jatuh hati. Ia tidak mau dengan mudah memberikan hatinya pada orang lain, tidak akan pernah. Ia tak mau merasakan patah hati yang sering dialami oleh teman-temannya.

Rea mempercepat langkahnya agar cepat sampai di kelas. Mungkin karena kondisinya sedang berjalan seorang diri di koridor yang sepi membuat kerja otaknya sedikit rusak karena memikirkan hal-hal yang tidak penting. Jadi ia harus cepat-cepat bergabung di keramaian agar otaknya tidak semakin rusak memikirkan hal gila semacam itu.

Playgirl Vs Bad Boy (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang