00. Cerita Jia

1.3K 112 6
                                    

Nama gue Jiraya, tapi biasanya gue di panggil sama Koko sebagai Jia. Padahal Mama sama Ayah manggil gue, Raya.

Dan manusia-manusia lain pun jadi keterusan panggil gue Jia.

Kalau di tanya alasan kenapa Koko panggil gue sebagai Jia, pasti jawaban dia selalu, "Kenapa, sih? Mulut, mulut gue, kok."

Koko gue emang gitu, ketus, pendiem, tapi dia pecicilan. Tunggu, gimana caranya pendiem terus pecicilan?

Pokoknya gitu, deh.

Koko gue itu susah di tebak, orangnya absurd. Gak ngerti lagi deh, dia itu manusia kayak apa.

Koko gue kalau di lihat dari jauh, hidupnya santai banget. Pagi, bangun tidur. Siang, kuliah. Sore, pulang, —itu pun cuma numpang mandi. Malam, keluar. Berasa gak ada tanggungan gitu.

Tapi selama yang gue tau, Koko gue itu pekerja keras, banget.

Koko gue pernah kerja di minimarket setiap hari sabtu, cuma biar dia gak minta jajan lagi sama Ayah dan Mama. Tapi, setelah orang tua gue tau, mereka marah, mereka minta Koko gue untuk berhenti dari pekerjaan itu dan langsung di iyakan. Mereka gak mau anaknya susah-susah cari uang. Yang mereka mau, anaknya belajar dan jadi orang sukses.

Tapi yang namanya sifat keras kepala sudah mendarah daging, berikutnya Koko kerja lagi di sebuah tempat makan, di bagian kasir. Ayah dan Mama gak tau, tapi tiba-tiba Koko di pecat dan harus ganti kerugian yang untungnya tidak terlalu besar, karena ada orang usil.

Koko gak pernah cerita sama adeknya yang umurnya di bawah dua tahun ini dari dia, dia cenderung diam. Jujur, gue tau semua masalah Koko pun dari Mas Bri yang gue paksa bicara.

Koko gue itu...

Ah, gak bisa di jelasin gimana bangganya gue punya Koko seperti dia, yang selalu ada di samping gue.

Tapi, pasti ada nyebelinnya.

Apalagi setelah dia tau gue, adik satu-satunya mulai dibuat bimbang dengan dua laki-laki.

***

Ini hari sabtu, jam tujuh pagi. Jatah gue untuk membangunkan Koko.

"Ko, bangoonn..." ucap gue dengan menggedor pintu kamarnya.

Beberapa kali gue berteriak, —yang akhirnya di omeli Ayah, pintu kamar Koko terbuka menampilkan seorang laki-laki dengan wajah khas bangun tidurnya.

"Jam berapa?" tanya dia.

"Tujuh." ucap gue sembari ingin melenggang pergi, namun ucapan Koko berhasil membuat gue berhenti sebentar dan mendengus kesal.

"Jam delapan bangunin gue lagi,"

Gue diam, dan pergi menghampiri Mama yang sedang menyiapkan nasi goreng buatannya.

"Ko, jangan tidur lagi! Ayah sudah mau berangkat." omel Mama, dan setelah itu gue mendengar pintu kamar Koko yang terbuka.

Ayah bekerja sampai hari sabtu karena tuntutan kantornya, sedangkan Mama bekerja hanya sampai hari jum'at.

Kalau kalian pikir keluarga gue itu keluarga yang kaya raya, memiliki perusahaan dengan cabang di mana-mana, kalian salah.

Keluarga gue cuma terdiri dari empat manusia, Ayah, Mama, Koko dan juga gue. Kita gak tinggal di rumah mewah bertingkat dua. Kita tinggal di perumahan dengan rumah biasa, sederhana, standar.

Halaman depan rumah gak terlalu lebar, kalau di ukur hanya cukup untuk dua mobil. Tapi untungnya, mobil yang di miliki Ayah hanya satu, jadi halaman rumah tidak terlihat sempit. Di dalam rumah hanya ada tiga kamar dengan satu kamar mandi, dapur tanpa meja makan, ruang tamu, dan satu ruangan tempat biasa gue dan keluarga menonton tv bersama.

Di hari biasa, gue dan Koko hanya berdua di rumah. Ayah dan Mama akan sampai di rumah pukul enam sore, karena kantor Mama yang lebih jauh dan Ayah yang harus menjemput Mama mengharuskan waktu yang termakan lebih banyak.

Di hari sabtu seperti ini, Ayah akan berangkat kerja pagi-pagi, Mama yang menyiapkan sarapan dan juga Koko yang selalu bangun kesiangan. Meskipun hari libur, Mama gak membiasakan anak-anaknya untuk seenaknya melebihkan jam tidur.

Setelah sarapan bersama di sudut rumah tempat gue dan keluarga biasa menghabiskan waktu, saat Ayah sudah berangkat gue akan selalu mulai membereskan rumah. Mencuci baju dengan mesin cuci, menyapu halaman dan sebagainya. Koko sudah bisa di pastikan akan berdiam diri di kamar untuk bimbel online.

Sedangkan Mama akan pergi ke rumah tetangga gue yang mempunyai usaha kue untuk membantu membuat kue. Mama melakukan itu bukan karena uang, Mama suka sekali membuat kue tapi pekerjaannya tidak memungkinkan untuk di tinggal, jadi dengan kemampuannya Mama membantu tetangga yang memiliki toko kue itu setiap hari sabtu.

Keluarga gue seperti itu, meskipun bukan dari keluarga yang penuh dengan kemewahan, gue bersyukur. Setidaknya hari-hari gue selalu di warnai dengan senyum dari Ayah, Mama dan juga Koko.

Possessive Bro • JaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang