18. Band Mas Brian?

298 32 10
                                    

Sekolah ramai hari ini, lebih ramai dari hari kemarin karena saat ini ada pembagian raport. Sebenarnya gue males banget untuk ikut karena ya, gue cuma datang, duduk dan selesai. Tapi karena semua murid diwajibkan datang untuk dibagikan tiket masuk pensi yang akan dilakukan besok, jadilah mau gak mau gue ke sini bersama Ayah dan Mama.

Sekolah gue memang sengaja mengadakan pensi bukan di akhir tahun pelajaran. Karena kata guru gue, kalau pensi di laksanakan di akhir tahun pasti menyita banyak waktu belajar semester dua. Jadi pensi dilaksanakan setelah semester satu habis, supaya di semester dua kita bisa lebih fokus untuk pelajaran.

Gue sedang menunggu Gitta di depan lapangan yang akan ke sini bersama dengan Ibunya, karena orang tua Gitta itu single parent, jadi dia cuma sama Ibunya aja. Itu juga yang buat Mas Bri sayang banget sama Gitta, apalagi di tambah fakta kalau Gitta itu sepupu satu-satunya dari pihak Ayahnya Mas Bri.

Gue melihat jam tangan yang berada di tangan kiri gue, tersenyum sekilas saat gue sadar kalau jam tangan itu milik Rayyan.

Gue jadi bimbang lagi. Apa gue salah karena baik ke Rayyan dan buat dia salah paham? Tapi Rayyan itu temen gue, emang seharusnya gue perlakuin dengan baik.

Rayyan baik banget ke gue, tapi di satu sisi gue malah penasaran dengan kak Dion sejak pertama kali Koko bilang kak Dion suka sama gue. Gue tau kalau perasaan orang memang bisa berubah, tapi untuk saat ini gue merasakan keseriusan dari dua orang itu.

Rayyan gak pernah berubah jadi bimbang untuk deketin gue meskipun selalu ada Koko di depan gue. Sedangkan kak Dion, dia gak masalah untuk kenapa-napa asal Koko bisa liat cara dia untuk deket sama gue. Mereka berdua serius, jadi mau gak mau dan entah berapa lama lagi pun gue harus bisa ngasih jawaban yang serius juga untuk mereka. Gue gak bisa biarin Rayyan buang waktunya hanya untuk perjuangin gue, dan gue juga gak bisa terus-terusan memberi lampu hijau pada kak Dion saat gue sebimbang ini.

Gue mendesah pelan, menoleh kepala ke kanan dan ke kiri, mencari Gitta yang katanya tadi sudah di tangga untuk turun.

Gini nih. Gitta tuh kebiasaan, bilangnya udah di sini tapi ternyata masih di sana. Bikin orang lain nunggu.

"Eh, Raya!"

Gue menoleh kala merasa seseorang memanggil nama gue. Di sana ada Mirza, Celine dan juga Rayyan. Mereka berjalan mendekat ke gue, ikut mendudukan diri di sebelah gue.

"Kenapa?" tanya gue saat Celine dengan gak tau dirinya malah senyum-senyum najis ke arah gue.

Celine gelengin kepalanya. Tapi masih sambil senyum-senyum meluk gue.

"Ini si Celine kenapa?" tanya gue pada Mirza dan Rayyan yang duduk bersebelahan.

Rayya menggeleng dan Mirza mencoba menjawab. "Seneng dia tuh. Nilainya stabil dan di bolehin untuk kuliah di luar sama Papinya."

Celine merubah raut wajahnya yang tadinya seneng pakai banget, sekarang jadi menatap tajam Mirza tanpa senyum. Mirza cuma diam dan menaikan sebelah alisnya.

"Kalau gak tau, gak usah sok tau."

Mirza menggaruk hidungnya, "Loh, bukan ya? Tapi barusan lo cerita ke gue dan ke Rayyan gitu,"

Celine berdecak, "Ya yang ini senengnya beda lagi."

Rayyan ikut penasaran. Kepalanya maju untuk melihat Celine karena tertutup tubuh Mirza.

"Terus lo kenapa kayak orang gila gitu?" tanya Rayyan.

Celine senyum-senyum lagi. Tangannya terangkat, memanggil Gitta yang ternyata sudah dibelakang kita. Gitta mendekat, ia duduk di lapangan yang membuat posisi gue, Celine, Rayyan dan Mirza harus merunduk untuk menatapnya.

Possessive Bro • JaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang