Setelah selesai makan nasi goreng dengan kak Dion di pinggir jalan, kak Dion langsung mengajak gue pergi. Gak tau mau kemana. Sehabis dia scroll ponselnya, dia langsung berdiri dan ajak gue pergi.
Sampai motor hitamnya berhenti di pinggir jalan yang di sulap menjadi tempat parkir. Di depannya, bersebelahan dengan parkiran motor itu, banyak penjual. Ada penjual makanan, ada juga mainan anak-anak yang nyala-nyala gitu.
Kak Dion memimpin jalan dengan sebelah tangan menggenggam tangan gue. Kita melewati beberapa pedagang, sampai di sebelah kiri ada lampu berwarna-warni yang di taruh di atas bambu yang melingkar sebagai gapura pintu masuk.
Gue dan kak Dion melewati beberapa pasang bambu yang di cat berwarna hijau itu, sampai ketika gue mendongak dan menemukan kak Dion berhenti berjalan dan menatap gue.
"Gak apa-apa, kan kita ke sini?" tanyanya dengan khawatir.
Gue tersenyum dan mengangguk, lalu maju beberapa langkah dan mensejajarkan diri di sebelah kak Dion.
Setelah melewati bambu itu, ternyata semakin banyak pedagang. Di sebelah kanan pintu masuk, para penjual makanan berkumpul di sana. Bukan makanan mahal, cuma makanan anak-anak yang harganya paling mahal sepuluh ribu. Di sebelah blok penjual makanan, ada penjual baju dan aksesoris. Jam tangan harga dua puluh lima ribuan pun ada. Sebelah kiri pintu masuk, ada para pedagang mainan yang ramai dengan anak-anak. Dan di tengah -sebagai pusat- ada beberapa wahana kecil. Kak Dion pun menarik gue ke arah sana.
"Mau naik itu?" tunjuk kak Dion kepada salah satu wahana yang berputar seperti kereta dengan lampu yang ramai.
Gue memukul pelan lengan kak Dion dan berdecak, "Ish, itu buat anak kecil. Ngaco deh!"
"Lo kan masih kecil."
"Gue udah punya kartu tanda penduduk loh, kak. Masih di bilang kecil?!" omel gue.
Kak Dion tersenyum semakin lebar, dan sebelah tangannya terulur untuk mengusak pelan kepala gue.
"Buat gue dan Bang Jae, lo itu anak kecil kesayangan yang harus di jaga. Paham?"
Hah?
Gimana?
Kok gue salting?
Gue berdeham sedikit dan merunduk, membiarkan rambut panjang gue menutupi sebagian wajah gue. Malu, kalau sampe gue ketauan salting dengan pipi gue yang memerah.
Kak Dion menarik gue berjalan lagi, kali ini mendekati beberapa mainan anak-anak.
"Eh, coba liat itu deh."
Gue dan kak Dion mendekati salah satu pedagang yang menjual hiasan kepala. Bando salah satunya. Dengan banyak bentuk yang unik, kak Dion mencoba satu persatu, dan bergaya konyol di depan gue.
Dia mengambil bando berwarna hitam dengan telinga dibagian atas kedua sisi, dan menoleh kepada gue.
"Liat nih, makin ganteng kan?"
Gue menutup mulut dengan kedua tangan, berusaha nahan ketawa. Ini orang kenapa lagi random banget?
Kak Dion kemudian mengambil satu lagi bando berwarna putih dengan bentuk yang sama, hanya berbeda warna.
"Pake," gue melirik sekilas dan menggeleng, "Mau pake sendiri atau di pakein?" katanya, membuat gue menggeleng lagi. Kak, Dion berdecak, "Biar kayak pasangan masa kini, unyu-unyu gitu."
Gue tertawa sekilas, lalu berakhir menerima bando itu dan memakainya. Kak Dion tersenyum menatap gue, lalu beralih ke penjual untuk membayar bando yang di ambilnya.
Gue dan kak Dion berjalan beriringan dengan menggunakan bando ke beberapa penjual. Melihat-lihat sekilas yang menarik perhatian.
"Lo mau beli itu gak?" kak Dion berhenti berjalan, dan menoleh untuk menunggu jawaban gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Bro • Jae
Fanfiction"Ko, mau kemana?" "Keluar, kenapa?" "Temenin beli makan dulu, dong." "Enggak ah," Lima belas menit kemudian... "Lah, kenapa balik lagi, Ko?" "Nih," "Apaan?" "Tadi katanya minta beli makan." *** Rasanya jadi adik perempuan yang paling di sayang, dan...