One

34K 1K 6
                                    


Dia jam istirahat ini, Aku dan Arasta duduk di salah satu kafe untuk menikmati cokelat hangat.  Arasta terus mengajakku berbicara, tapi aku malah terpikirkan hal lain.  Ucapan Ariel pagi tadi terus mengiang-ngiang di kepalaku. Wajah ayah dari anakku itu kembali berputar-putar. Beberapa detik, aku terhanyut dalam kisah tujuh tahun yang lalu.

Flashback

Musik dugem dengan lampu warna-warni menghiasi ruangan ini. Dua buah bir telah aku habiskan hanya dengan beberapa tegukkan. Tapi aku masih sadar, itu bahkan tidak ada apa-apanya bagiku.

"Naurah?" suara seorang lelaki samar-samar terdengar dari belakang.  Aku hanya diam, berharap bahwa suara itu adalah suara dari kekasihku, Areno.

"Naurah! Hei! Kamu sedang apa disini." Wajah lelaki itu bukan kekasihku. Bibirku tersenyum lembut saat melihat senyumnya.

"Aku yang harusnya berkata kau sedang apa? Kau seperti tidak tahu sahabatmu ini saja." Aku tersenyum lebar sembari memeluknya.  Lelaki itu adalah aris, dia sahabatku dari kecil. Kami berpisah saat umur belasan tahun, kira-kira saat SMA. Aku tidak tahu persis kelas berapa saat itu.

"Seharusnya kau tidak seperti ini. Ayo aku antar pulang...," Aris memegang pundakku lembut.

"Aku tidak bisa pulang sekarang, Ris. Aku sedang menunggu Areno." Aku membalasnya sambil menghabiskan botol bir yang ketiga.

"Areno? Lelaki dulu itu?" Aris menaikkan sebelah alisnya.

"Yes, of course."
Suara musik makin malam makin kencang. Tubuhku seperti ingin diajak untuk bergoyang.

"Aku kira kamu sedang sendiri. Padahal aku sudah mau melamarmu." Aris tersenyum kecut.

Ucapan Aris membuat bir di tenggorokanku sulit tertelan. 
"Aris, aku mohon, jangan lagi buat pertemanan kita ini rusak.  Jujur, aku menyukaimu hanya sebagai teman, aku suka dekat dengan kamu karena kamu itu selalu mendengarkan aku. Aku gak mau kisah kita terulang lagi. Aku cuma mau kamu sebagai sahabat aku. Ok!" Aku menatapnya dengan tegas, botol bir ke lima mulai aku habiskan.

Entah kenapa, kisah masa lalu tiba-tiba keluar dari pikiranku lagi.

aku dan Aris adalah seorang tetangga dari umur 7 tahun, aku pindah ke rumah nenekku, karena ayah dan ibuku telah cerai dan keduanya pergi entah kemana. Jadilah aku hidup bersama nenekku. Kesedihanku hilang dulu saat Aris datang dan mengajakku bermain. Aris itu seperti malaikat di hidupku. Dia selalu berhasil membuatku tersenyum.

Sayangnya saat aku duduk di sekolah menengah atas, aku harus pindah ke rumahku, rumah yang di tinggalkan oleh ayah dan ibuku. Dan tepat dua hari sebelum aku pindah, aku memberi tahu Aris bahwa aku akan pindah sekolah dan juga pindah rumah. Dia hanya diam, lelaki itu tidak membalas ucapanku. Aris kalau marah memang seperti itu, dia diam. Menahan. 

Kemudian saat dimana hari aku pindah, lelaki itu datang ke rumahku dan menarikku kebelakang rumah.  Kenangan itu kembali teringat, Ah!

"Kamu benar pacaran dengan Areno?" lelaki itu tersenyum lembut padaku. Tapi matanya berharap aku berkata tidak.

Aku hanya l mengangguk.  Saat itu, aku memang sedang dekat dengan Areno, dia murid baru saat itu. Kira-kira satu bulan dia pindah, saat itu juga dia mencoba dekat denganku. Hanya saja Aris tidak tahu saat itu.

"Na! Kenapa kamu harus pacaran sama dia!" Aris menatapku dengan tajam.

"Emangnya kenapa? Kamu harus bahagia donk kalau aku punya pacar." aku heran dengan sikap Aris. Ini pertama kali ia membentakku.

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang