Seventeen

18.9K 837 41
                                    

"Nanti di Jemput sama Tante Arasta ya Riell," ucapku sambil melepaskan Ariel ke dalam sekolahnya.

"Emang kamu kemana nanti?" Arasta tersenyum di sampingku.

"Proyek baru, Ta. Aku harus selesaikan hari ini, biar dapat di tandatangani langsung."

"Na..., Kamu gak apa-apa? Bukannya Pak Aris...,"

"Udahlah, Ta. Aku orangnya profesional, gak bakal aku ikut campuri ususan pribadi sama kerja aku. So, gak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kita cuma perlu profesional dalam hidup." Aku langsung menancapkan gas menuju ke perusahaan.

"Semalam, Raga chat aku."

Dreggg!

Suara rem terdengar setelah Arasta berucap. Aku sedikit syok mendengar ucapan Arasta.

"Jadi gimana? Apa yang dia bilang?" Aku melanjutkan perjalanan.

"Aku gak buka, dia juga nelfon belasan kali, dan aku milih gak jawab. Aku matiin hp."

"Kamu harus baca pesan dari dia. Itu berarti semalam bukan hal yang dia sengaja." Aku berkomentar.

"Aku udah gak butuh penjelasan, Na. Aku memang buka buat dia. Kamu tahu kan, cewek semalam itu mantannya dia. Aku gak punya hak buat dekatin dia." Arasta memalingkan wajahnya, matanya masih sembab.

"Ta, kamu gak boleh gitu. Denger dulu penjelasannya dia. Yakin sama aku, kalau dia gak bermaksud buat nyakitin kamu. Kamu mungkin salah paham." Aku mulai masuk area parkiran perusahaan.

"Kamu diam aja, Na."

"Maksud kamu apa nyuruh aku diam? Aku nyaranin kamu, Ta."

"Aku lagi gak butuh saran. Aku lagi sakit hati Na. Kamu bilang dia gak bermaksud. Atau salah paham? Seandainya pun salah paham, aku tetap aja sakit hati. Kamu gak liat semalam? Gadis itu datang sama ibunya Raga. Itu artinya ibunya udah restuin mereka. Dan aku bukan apa-apa." Seketika pecah emosi Arasta kepadaku.

"Aku akan jemput Ariel nanti." Arasta keluar, dia benar-benar terluka. Wajar sih, ini pertama kali dia memberi hatinya pada seseorang.

****

Pukul 02.00, aku masih bergelut dengan laptop. Keuntungan yang diinginkan belum bisa di capai. Itu karena bahan bakunya memang sedang naik harga sekarang. Daripada aku pusing sendiri, aku akan mencoba berunding dengan Kepala Perusahaan, Aris si Iblis bermata 2.

Aku menuju ke tempat ruangan Aris yang tak jauh dari ruanganku. Kuharap, aku tidak sedang mengganggu 'pekerjaannya'

Tanpa mengetuk pintu ruangannya, sekitar 2 menitan, pintunya baru terbuka. Seorang gadis bawahannya keluar dengan baju sedikit tidak rapi. Aku sepertinya mengganggu 'perkejaannya'.

"Maaf kalau saya mengganggu pak, boleh saya minta waktunya sebentar." Ucapku di depan pintu.

"Ada apa, silakan masuk," Aris mengajakku masuk.

"Jadi begini pak, provid yang bapak inginkan, tidak bisa di dapatkan, karena bahan baku yang sudah mulai naik. Jadi keuntu—,"

"Bawa sini," Aris mengambil cepat pulpen dan kertas yang merupakan laporan untuk proyek ini.

Dia lalu mencoret beberapa hal di dalam kertas itu, menggantinya. Aku hanya berdiri tak percaya, bagaimana bisa dia melakukannya seperti itu. Aku lebih tahu harga di setiap toko yang ada di kota besar ini.

"Ini dia," dia mengembalikan kertas itu.

"Gak bisa, tidak ada kayu yang harganya segini. Apalagi keramik segini. Dimana aku bisa mendapatkan harga segitu. Kalau begini, keuntungan bahkan lebih besar dari sebelumnya." Aku masih tidak percaya.

"Besok pagi kita pergi mencarinya." Aris menatapku sejenak.

"Ok, aku akan mencetak ulang. Dan aku tidak akan bertanggung jawab jika harganya jauh dari yang kau tuliskan." Aku membalik badan dan menuju ke pintu.

"Naurah...," Ucapannya membuatku terdiam.

"Kau masih marah?" Aris bersuara lagi.

Aku diam.

"Kenapa kamu diam."

Aku berbalik arah, menatapnya dan mencoba tegar.

"Ini tempat kerja. Kamu harus profesional."

"Tapi tolong jawab aku sekali saja, kamu masih marah?" Aris mendekati. Jarak kami hanya satu jengkal sekarang.

"Aku gak punya hak buat marah lagi ke kamu. Aku sadar, kalau aku yang salah, Ris. Dan kamu tahu? bagian yang paling aku benci saat lihat kamu? Aku selalu sakit ketika melihat kamu sama gadis lain.

"Aku bakal—,"

"Aku bakal menjauh dari gadis yang lain? " Aku memotong ucapannya.

"Iya kan? Maaf Aris, tapi aku gak bisa. Janji saat di toilet itu, masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku udah terlanjur naruh hati sama janji itu. Dan sekarang, janji itu seperti luka. Sakit banget," aku kemudian pergi, meninggalkan dia yang terdiam seribu bahasa.

Ingin aku kembali, namun hati sudah terlanjur dilukai. Aku memang pernah membuatnya terluka? Tapi apakah itu berarti aku tak boleh mendapatkan bahagia darinya? Mungkin saja iya. Tapi sesungguhnya sekarang, aku benar-benar mencintainya.

****

Part selanjutnya mungkin bakalan ada adegan hot ya😮. So, buat kalian yang di bawah 15 tahun, plis jangan baca😰😰. Oh iya, besok liburkan...., Kalian semua dapat salam dari Lombok, kapan ke Senggigi barang Author plus Naurah dan Aris😂😂😂. Byeee jumpa lagi  😘😘😘

Jangan lupa vote dan berikan komentar buat part ini. Miss you...

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang