Seven

20.1K 854 17
                                    

Mungkin, hari terburukku adalah  dimana aku harus satu mobil dengan lelaki ini. Bagaimana bisa aku percaya dia akan mengajakku ke tempat kayu. Bisa saja dia membawaku ke suatu tempat dan membuangku. Atau membunuhku, lelaki ini semakin lama semakin tidak benar.

"Kamu tidak tenang aja, aku tidak bukan psikopat kok," Aris seperti mengetahui isi pikiranku. Aku melirik sejenak, lalu kembali menunduk.

"Pun kalau aku jadi psikopat, mana mau makan daging keras kaya kamu,"

"Apa? Maaf ya pak. Tapi tubuhku sepertinya lebih lembut dari lidah bapak." Aku tersenyum paksa. Demi kesopanan.

"Tapi kenapa aku tidak percaya ya," ucapnya sambil belok ke kanan masuk ke dalam sebuah gang.

Aku tidak membalas. Karena dia akan membuatku semakin memanas.

"Gimana, kalau aku rasain sepotong tubuh kamu," ucapannya sukses membuatku menengok ke arahnya dengan spontan.

Dia tertawa jahat, mirip psikopat dalam film. Gang tersebut semakin dalam semakin sepi perumahan warga. Kiri-kanan di kelilingi pohon jati dan beberapa tumbuhan lainnya.

"Bagian enak tubuh kamu yang mana?" Aris menghentikan mobilnya. Sekeliling tidak ada rumah, hanya pepohonan lebat.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, sebab hatiku tiba-tiba terasa was-was.  Aris keluar mobil dan menuju garasi.

Senk!

Deg! Suara benda tajam membuat jantungku berdetak kencang. Aku pelan-pelan turun dari mobil Aris. Lelaki itu memang ingin membunuhku. Ya ampun, aku benar-benar tidak ingin mati seperti ini. Anakku masih kecil, uang-uangku juga belum aku sedekahkan. Dosaku numpuk. Aku belum siap mati.

Jantungku bedegub dengan kencang saat aku keluar dari mobil. Pelan-pelan aku menutup pintu mobil. Aku menahan tangis, aku sungguh ketakutan saat ini. Mati dengan daging dimakan manusia bukanlah pilihan terbaik. Aku dengan cepat mengetik sebuah pesan singkat pada Arasta untuk menjemput Ariel di sekolahnya dan merawatnya. Agar aku bisa mati dengan tenang walau tidak wajar.

"Kamu lagi apa, Naurah?"

Aku menengok ke belakang dan alat tajam itu berdiri seperti siap menghatamku.

"Argh!!!"

"Argh!"

Aku merasa lemas menatap Aris dengan linggisnya yang siap menghantamku. Sesaat, aku pandanganku mulai gerisimis dan perlahan menghitam. Aku tidak bisa bernapas lagi. Samar-samar aku melihat Aris menjatuhkan linggisnya dengan cepat.

Syup!

****

Entah apa yang terjadi, aku merasa kalau aku belum mati. Tempat aku rebah terasa cukup empuk. Aku perlahan membuka mata, memandang sekitar. Kembali teringat kemautanku tadi. Sekarang aku berada di sebuah kamar, aku perlahan bangun dari kasur dan berjalan ke jendela untuk melarikan diri.

Kaki kananku sudah berada dia atas jendela, namun kaki kananku kesulitan untuk terangat. Ini semua karena aku jarang berolahraga.

"Eh..., lagi apa neng," seorang perempuan berusia hampir lima puluhan masuk ke dalam kamar dengan sacangkir teh.

"A-aku lagi..., lagi senam. Ya lagi senam." Aku mencoba tersenyum, melihat wajah perempuan tua ini seperti melihat wajah seorang ibu. Sangat mustahil untuk membunuhku.

"Kalau neng udah bangun, ayo ke depan. Pak Aris sama suami saya sedang berbicara di luar." Ucapnya lembut.

Aku malu-malu turun dari jendela dan mendekatinya. Aku menunduk, malu atas kejadian barusan. Amat tidak sopan, bukan.

"Linggis yang di beli sama Pak Aria bagus loh Neng. Makasih ya," Ucapannya membuatku teringat dengan linggis yang dibawa oleh Aris.

"Aris itu anaknya baik loh Neng. Beruntung banget Neng punya pacar kaya Pak Aris."

"Tap—"

"Eh, Bu Naurah udah siuman." Suami perempuan tua memotong pembicaraanku saat ingin menjawab pertanyaan istrinya. Namun biarlah, toh itu tidak akan bermasalah. Hanya mereka saja yang memandang iblis itu mencintai malaikat sepertiku.

Aku menganguk pelan sambil menuju ke kursi. Aris dan lelaki pemilik rumah ini kembali membicarakan kayu yang dibutuhkan. Sejenak, aku menatap kayu yang terlihat dari celah pintu. Bisa di simpulkan, bahwa inilah tempat yang dimaksud oleh Aris tadi. Aku membuyarkan hal gila yang kupikirkan tadi. Aris sama sekali bukan psikopat. Dia hanya iblis dengan wajah penggoda.

"Malam ini kita akan tidur disini," Aris membangunkan aku dari lamunan.

"Kamu yakin? Tapi aku ingin pulang, Pak Aris." aku membisiknya.

"Kita tidak akan pulang. Pertama karena aku lelah mengangkatmu tadi, kedua kita akan kemalaman jika harus pulang. Toh juga hanya malam ini," keputusan Aris bulat, tidak persegi apalagi trapesium. Lelaki itu tetap memintaku untuk menginap di tempat ini.

Dan aku akan menurutinya menggunakan hati kali ini, karena dia telah membawaku tadi dan juga memang keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Apalah dayaku, sekretaris yang harus patuh pada pemimpin iblis berwajah malaikat.

****

Sorry for typo. Jangan lupa vote and comment😘😘😘😘😂😊😊😊 segenggamrindu and Novansurya
Terima kasih gengs


The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang