Nine

19.1K 820 3
                                    

Suara burung yang bernyanyi riang di luar sana membuat mataku yang berat segera terbuka. Aku menatap sekitar kamar, Aris tidak ada di sini. Aku lalu keluar dari kamar, dan menuju ke luar rumah. Pemandangan di sekitar ini cukup bagus, udaranya membuat paru-paruku terasa terupgrade, mungkin menjadi insang.

Aku melangkah keluar dari rumah dan melihat-lihat tempat ini. Embun di dedaunan mulai sirna oleh cahaya matahari. Sejenak aku terdiam menatap bunga mawar yang mekar di samping rumah. Warnanya merah sekali, membuatku ingin memetiknya.

"Kamu mau?" sebuah pelukan membalut tubuh mungilku.

Aku tidak menjawab. Entah kenapa, aku merasa nyaman ketika dipeluk oleh Aris. Meski sebenarnya hatiku terdapat rasa kesal padanya. Namun kali ini aku merasa bahwa kekesalan itu mulai pudar semakin hari berjalan.

"Kalau kamu mau, aku akan memetiknya." Bisiknya cepat.

"Tidak usah. Aku tidak suka bunga mawar. Lagi pula, kalau aku mau, aku bisa membelinya. Ingat, aku punya banyak uang." Aku melepaskan pelukan Aris yang membalut di tubuhku. Aku memilih pergi, karena jika aku terus di sampingnya, rasa kesalku bisa saja berubah menjadi rasa yang lain.

"Woi! Ingat, sekarang bukan malam lagi, status kita sudah berubah." Aris berteriak padaku yang mulai menjauh darinya.

"Iblis o'on. Aku akan jadi sekretarismu jam 7.30 dan sekarang status partner kita butuh waktu 10 menit 24 detik lagi." Aku kembali meneriakinya sambil menghitung cepat waktu pada jam tanganku.

Aris tidak bersuara. Sekarang, dia yang harus lebih teliti pada waktu dan juga profesional. Aku masuk ke dalam rumah untuk mencuci muka, dan segera menuju ke perusahaan.

****

Aku keluar dari mobil Aris dan langsung menuju ke ruanganku. Pekerjaanku semakin lama semakin membuatku lelah. Benar-benar lelah. Tapi itu cukup membuat pikiranku bahwa Aris bukan lagi seseorang yang berengsek seperti dulu. Tapi apa aku yakin dengan hal tersebut? Yakinkan sajalah.

"Sepertinya aku harus mengalah deh," Arasta masuk tanpa mengetuk pintu.

"Ariel gimana? Dia tidak terlambat ke sekolahkan?" aku bangun dari meja kerja. Aku bertanya seperti itu karena aku tahu, kalau Arasta kesulitan bangun pagi.

"Dia tidak terlambat kok. Kamu sama Pak Aris kemana? Jangan bilang malam madu sebelum menikah."

"Maksud kamu apa? Aku sama Pak Aris itu cuma pergi ke tempat kayu. Jangan mikir yang macam-macam deh." Aku memutar bola mataku.

"Kalau kamu tidak mau jujur tidak apa-apa kok. Toh juga aku mau nyerah. Pak Aris lebih cocok sama kamu," Arasta tersenyum jail. Otaknya mulai bermesum-mesuman.

"Makin lama, kamu makin ngaco aja, Ta. Udah ah, nanti. Kita ketemu di tempat biasa, sekarang aku mau kerja." Aku mendorongnya pelan-pelan ke pintu.

"Kalau memang udah malam madu, tidak usah malu." Lagi-lagi ingin kuhantam mulutnya. Aku secepatnya mengeluarkan dia dari ruangan. Gadis itu semakin lama semakin gila, aku curiga dua tahun lagi dia masuk rumah sakit jiwa.

****

Thanks for everything. Btw, klimaksnya itu di part berapa ya bagusnya. Jawab yaaa
😂😐😟😟😘😘😘😘

Typo menyebar bagai debu yaa? Sorry

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang