Twenty Two

15.5K 708 35
                                    


Sepertinya ucapkan pagi tadi, aku akan menemui Arasta di kafe yang biasa kami datangi.

Arasta melambaikan tangannya dari dalam kafe, menatapku dengan penuh harapan. Aku mempercepat langkahku, dan menuju mejanya.

"Aku udah pesan makanan buat kita," ucapnya. Tak lama kemudian, pesanan itu datang bersamaan terbukanya sebuah pintu. Aku melihat seorang gadis alias mantan kekasihnya Raga datang bersama Ibunya Raga. Dia terlihat serius, dua langkah, satu langkah dan berhenti di depan meja kami. Mereka kemudian di tepat depan Arasta.

"Halo, Tante...," Arasta mencoba memberikan pembuka terbaik. Tapi ibunya Raga tetap diam. Enggan senyum.

"Aku tidak ingin banyak bicara, aku hanya ingin menyampaikan untuk berhenti berhubungan dengan Raga. Dia sudah memiliki calon istri. Dan kamu seharusnya mengerti posisi kamu itu, apalagi kamu wanita." Ibunya Raga berkata dengan sinis.

"Tap—"

"Saya tidak bicara dengan anda." Ucapnya saat aku sedikit mengangkat mulut.

"Aku tahu, Raga suka sama kamu. Tapi dia sudah punya Istri. Dan lebih pentingnya lagi, dia sudah punya anak di rahim calon istrinya ini." Dia menunjukkan gadis yang akan dijodohkan dengan Raga tersebut.

"Raga menyukaimu, hanya sesaat. Bukan selamanya. Dia datang ke kamu, karena dia punya masalah dengan calon istrinya ini. Dan kamu tahukan apa artinya itu. Jadi, saya izin pamit. Terimakasih." Ibunya Raga kemudian pergi.

Ucapannya membuat Arasta terdiam. Dia berkaca-kaca. Jika benar yang dikatakan oleh ibunya, berarti selama ini. Dia hanyalah pelarian. Tapi aku rasa, Raga serius.

"Ibunya benar. Aku harus menjauhinya. Wajar dia menyukaiku, karena dia memiliki masalah dengan mantannya. Dan waku bakal menyelesaikan masalah mereka dan akan saling mencintai. Aku disini cuma kesalahan. Pelarian. Atau mungkin—"

"Stop rendahin diri kamu sendiri. Itu gak berguna." Aku menenangkannya.

"Tapi yang dikatakan benar!" Dia membentakku.

"Siapa yang bilang benar? Kalau menurut kamu benar, ya sudah. Tapi kalau menurut pandangan aku, itu gak bener. Raga serius sama kamu. Dia datang dan minta kesempatan sama kamu. Gak ada pelarian cinta seperti itu. Kamu dewasa dikit." Aku mengelus pundaknya. Berharap matanya berhenti mengeluarkan air mata.

"Kalaupun dia suka seperti yang kamu bilang. Aku gak bakal tega sama gadis itu, apalagi dia sudah mengandung anaknya Raga. Aku gak bakal tega liat anak tanpa ayah, Na. Ini bener-bener sulit, ditambah Ibunya gak suka sama aku." Arasta dengan cepat memelukku. Dia benar-benar sesak. Rasa itu pernah aku alami, benar-benar seperti di tusuk jutaan jarum.

****

04. 00
Aku menuju ke sekolah Ariel untuk menjemputnya. Terlihat beberapa anak keluar dan di jemput oleh orang tua mereka. Tapi Ariel belum keluar, padahal biasanya dia selalu keluar lebih awal.

Aku turun dari Mobil dan bertanya kepada ibu gurunya.

"Ibu, Ariel anak saya udah pulang?"

"Udah Bu, di jemput pakai mobil.

"Oh, di jemput sama Arasta ya Ibu, yang biasa jemput dia kalau saya ga ada." Aku mencoba memastikan.

"Enggak Bu, dia sama seorang lelaki.

"Seor—" tiba-tiba pesan berbunyi. Aku membuka hp dan melihat pesan yang masuk.

"Aku sudah menjemputnya, aku sedang mengecek DNA-nya. Aku akan membawanya ke kantor besok. By The way, dia gak mau ketemu kamu katanya. Soalnya kamu marahin pagi tadi. Dan jujur aja, anak kita lucu loh. Kalau kamu mau cari aku, percuma. Aku gak bakal kasih tahu kamu. Intinya, dia baik-baik saja denganku."

Aku menutup handphone dan berdecak kesal. Berani sekali dia mengambil Ariel tanpa Izinku. Lihatlah besok, aku akan benar-benar mengeluarkan apiku. Lihat saja!

Jujur, aku kesulitan buat Endnya ini. Menurut kalian bakal Sad End or happy End? Ngegantung? Atau kita buat part 3 nya lagi.

Aku mau buat cerita baru, antara horror atau romance barangkali, teenfiksi. Ada yang punya ide?

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang