Twenty Four

15.5K 661 9
                                    


Plak!

Raga memukul meja, dia menatap Naurah sejenak,  lalu menatap aku kembali. 

"Berhenti bicara, Ta! Sekarang ikut aku." Raga menarik tanganku dengan kuat.  Membawa aku keluar dari rumah.

"Aku pinjam mobilmu,  Naurah!" teriaknya sambil memasukkan aku ke dalam mobil.

Aku dan Raga menuju ke sebuah tempat yang jauh. Gedung pencakar langit terlihat kokoh. Awan abu di atas sana mengingat aku pada hal yang kemarin. Rasa-rasanya alam mengerti suasana hatiku. Aku telah melewati perjalanan kurang lebih 2 jam bersamanya. Sepanjang perjalanan aku memilih diam, tak ingin membahas apapun. Semuanya cukup menyakitkan.

Dia memutar setirnya, masuk ke dalam gerbang rumah mewah berwarna putih. Terlihat seorang gadis di sana. Ya, itu mantan kekasihnya.

Raga mengeluarkan aku dengan cepat. Lalu menarik tangan mantan kekasihnya itu.

"Sekarang beri tahu, Arasta. Kalau kamu sama sekali gak hamil." Raga membentaknya.

Gadis itu tetap diam. Dia menunduk.

"Melda! Kenapa kamu diam. Aku gak nyangka ya? Kamu bisa kaya gitu! Kita putus baik-baik. Dan kenapa kamu muncul lagi! Aku nerima kamu dengan berat hati. Dan aku bukan cowok bodoh! Yang mau di selingkuhi! Berapa kali kamu selingkuh, Mel! Tapi aku selalu maafin kamu!" Raga menangis disini.

"Maafin aku, Rag. Tapi tolong, jangan tinggalin aku. Aku benar-benar sadar kalau aku memang suka sama kamu! Aku cinta sama kamu!" Melda menarik-narik baju Raga.

"Gak Mel! Aku udah capek sabar sama kamu! Cuma aku cowok bodoh yang mau maafin kamu! Dan aku udah cukup sabar, Mel! Aku gak bisa lagi sama kamu! Aku capek! Selama ini kamu selalu meminta apa yang kamu mau, tanpa tahu perasaan aku bagiamana!"

"I—itu semuanya benar Mel...," Ibunya Raga tiba-tiba datang dari belakang kami. Dia terlihat syok saat mendengar semuanya.

"Asalkan mama tahu! Selama ini Melda cuma mempermainkan aku!" Raga menendang pot bunga. Dia tidak bisa menahan emosinya.

"Aku tahu kalau aku salah! Aku memang mempermainkan kamu! Tapi itu dulu! Sekarang aku benar-benar tulus! Aku sadar, cuma kamu yang benar-benar cinta sama aku. Yang benar-benar ada buat aku." Melda terisak, menatap Raga dengan penuh harap. Aku hanya diam, semuanya terasa sulit.

"Dan ibu sudah menilai salah tentang dia! Aku benar-benar gak bisa Nerima kamu," Raga menatap sejenak. Lalu dia menarikku ke dalam dekapannya.

"Maaf Mel, hatiku udah ada sama Arasta. Dan kamu harus belajar dari semuanya. Kamu harus menghargai orang, sekalipun kamu gak suka orang itu,"

"Gak, Raga! Tolong. Beri aku kesempatan sekali lagi. Dan aku bakal berubah. Aku gak mau kehilangan kamu!" Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Aku gak bisa, maaf Mel. Aku cuma cinta sama Arasta. Dan terserah dengan Ibu. Aku cuma mau dengan Arasta. Aku gak mau sama siapapun. Aku akan menikahinya secepatnya." Ucapnya sambil membawaku kembali ke mobil. Semuanya terjawab sudah. Raga, aku, dan manganya itu memang tak punya pilihan. Karena sesungguhnya semua itu tergantung oleh hati. Aku gak bisa maksa diri aku buat benci Raga. Karena sejujurnya, aku mencintainya.

****

Back to Naurah POV

Pukul 10 pagi. Aku memilih untuk menuju ke perusahaan karena mengingat masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Tanpa banyak basa-basi, aku segera membuka komputer dan menuju file yang akan aku kerjakan.

Tiba-tiba terdengar suara anak kecil di lorong perusahaan. Aku berhenti sejenak, lalu dengan cepat aku keluar ruangan. Mencari sumber suara itu.

Langkahku terhenti saat melihat dua bayangan, di Balik gorden. Dua orang itu berdiri di balkon sana, aku hanya melihat bayangannya dari sini.

"Kamu harus mempersiapkannya, ok." Suara lelaki itu adalah suara Aris.

"Ini pekerjaanku dari dulu. Ingat, aku tidak suka jika tidak ada kecupannya. Dan tolong transfer segera Uangnya. Aku tidak sabar." Suara gadis itu, aku kenal sekali. Itu suara Alitta.

Argh! Aris memang tidak pernah berubah. Sepatu mereka bertemu, Aris memulai lagi aksinya.

Aku mundur perlahan, menjauhi mereka. Seharusnya aku sadar, Kalau Aris memang tak akan pernah mencintaiku. Aku saja yang terlalu berharap. Yang masih sibuk berharap. Aku memang jalang. Dan kenapa aku menangis!

Aku kembali ke dalam ruanganku. Suara anak kecil itu terdengar lagi. Sepertinya Ariel ada di ruangan Aris. Biarlah. Setidaknya dia bisa menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama ayahnya. Aku menutup semua fileku, lalu membuka Microsoft Word untuk mengetik surat pengunduran diri. Aku memang tidak pernah ditakdirkan untuk bersamanya. Aku hanya ditakdirkan untuk mencintainya. Dan itu, cukup menyiksa. Argh, Aris! Kenapa? Tuhan, aku sudah cukup dengan semuanya. Aku teramat tersiksa. Sakit sekali!

Maaf kalau End nya gak seperti yang kalian bayangkan. Sekali maaf! Aku gak bermaksud teman-teman 😢😔😔 Sorry.

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang