Twenty One

16K 681 21
                                    


Seperti biasanya, aku mengantar anakku ke sekolahnya setelah itu, barulah aku menuju ke perusahaan. Bagian terburuk dari pagiku ini adalah ucapan dari anakku tadi. Dan sungguh aku merasa bersalah kepadanya. Pagi tadi, saat dia masuk ke mobil, dia menceritakan harinya bersama Arasta. Namun dua menit setelah itu, dia bertanya kepadaku, apakah benar, Aris adalah Ayahnya. Ini samua pasti Arasta yang memberitahunya.

Aku menuju ke ruanganku, dan ku lihat sebuah bunga yang besar di mejaku dan Secarik kertas diatasnya.

'ini bagian pertama untuk membuatmu jatuh hati lagi'

Itu membuatku terpikir dengan ucapannya kemarin. Tapi sudahlah, aku harus profesional, urusan kerja adalah urusan kerja, tidak bisa menjadi urusan pribadi.

"Hai Na, Aku pingin kasih tahu kalau kamarin Pak Aris menelponku dan dia minta berbicara dengan Ariel. Aku minta maaf, karena gak minta izin dulu sama kamu," ucap Arasta sambil duduk di salah satu kursi ruanganku.

"Sebenarnya aku ingin marah sama kamu karena hal ini, tapi apa boleh buat. Ngeliat mata kamu dari semalam terus sembab ngebuat aku gak tega."

"Kamu sendiri pun begitu. By the way, itu bunga dari calon suami?" Bibirnya Arasta mulai berkicau.

"Please, deh Ta. Gak usah kek gitu. Aku benar-benar pusing." Aku menghela nafas.

Kemudian menatap jendela kaca, menatap ratusan kendaraan di jalan. Semuanya benar-benar diluar kendali. Terlalu sulit memaafkannya, dia mencoba membuatku jatuh cinta, tapi setiap kali rasa itu datang, aku hanya merasakan sakit. Sakit sekali.

"Kamu dan Raga gimana?"

"Aku gak tahu juga, Na. Sejujurnya aku juga pingin sama dia. Tapi aku sadar Na, Ada gadis lain yang lebih mencintainya."

"Berarti kamu tidak sungguh-sungguh mencintainya?" Aku berbalik arah, menatap Arasta yang lesu.

"Aku mencintainya. Saking sukanya, aku gak mau ada orang yang ngerasain perasaan yang kaya aku rasain ini. Mantannya, masih suka sama dia. Masa aku tega, rebut Raga dari dia. Cinta gak seperti ini, Na."

"Kamu gak ngerebut, Ra. Semalam pas aku jemput, Ariel. Bukannya kamu bilang kalau Raga sendiri yang datang dan minta kesempatan ke kamu kemarin?" Aku sedikit meninggi.

Arasta mengangguk pelan.

"Nah! Itu berarti Raga sama kamu punya rasa yang sama. Kamu harus sadar dong, Ra. Cinta kadang harus egois, gak selamanya kamu harus mikirin perasaan orang lain. Mungkin mantannya itu harus sadar, hati Raga gak kaya dulu lagi. Laki-laki juga punya hati, kalau dia di putus sama pacarnya, bisa jadi dia udah ngelakuin hal yang gak bisa di maafin." Aku menatap Arasta yang seperti orang banyak pikiran.

"Tapi—"

"Stop, Ra! Intinya, kamu harus kasih Raga kesempatan itu. Dan sekarang kamu harus bekerja. Kita harus profesional, nanti kita ketemu dia kafe seperti biasa. Kita ghibah sesuka hati. OK." Aku kemudian menuju ke mejaku. Sedangkan Arasta keluar dengan perasaan menimbang-nimbang.

"Permisi, boleh masuk Bu?" wajah Alitta tersenyum di depan pintu. Menggunakan kemeja lengkap dengan rok selutut.

"Ada apa, Allita? Eh sorry, maksud saya Bu Alitta." Aku bangun dari kursiku.

"Ya ampun ibu, panggil Alitta saja, jadi malu Bu. Toh juga ibu Atasan saya disini." Ucapnya.

"Ada apa ya, Bu?"

"Ini Bu, saya minta tanda tangannya. Ada tiga lembar ini, Bu." Alitta menunjukkan bagian yang harus aku tanda tangan.

"Oh , Ok ok ok." Aku dengan cepat mendatangani surat tersebut. Setelah tanda tangan itu tertulis, Alitta langsung pergi dengan senyum manisnya. Jujur saja, dia banyak tawanya. Gadis lucu.

Dua jam lima puluh menit aku bergelut dengan komputerku. Seseorang yang sungguh aku benci datang ke ruanganku dan menutup pintunya dengan rapat.

"Ada perlu apa pak?" Aku mencoba tetap profesional.

"Boleh minta tolong lihat mata saya gak, seperti ada debu yang masuk." Ucapnya sambil mengedipkan matanya. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja.

"Tolongin saya, jangan diam saja." Dia mencoba tetap formal. Agak lucu sih. Tapi serahlah, mungkin dia memang kelilipan.

Dia duduk di kursi, aku kemudian dari depan menatap matanya, lalu meniupnya dari kiri ke kanan. Dia tersenyum, dengan cepat ia mencium bibirku. Aku mendorongnya dengan cepat.

"Tolong jangan kurang ajar, saya bisa saja menelpon anda ke polisi." Aku benar-benar tidak main main.

Dia hanya mengedipkan matanya, mencoba membuatku 'melele' lalu dia maju dan memelukku. Melumat dengan cepat bibirku, aku kesulitan bernafas. Dia menarikku ke kursi dan menidurkanku.

Aku bisa merasakan tarikan nafasnya yang sedang menggebu-gebu. Dan apa ini, tonjolan di bawah pusarnya membuatku tak nyaman, bukankah ini terasa benar-benar besar. Maksudku terlalu besar.

Oh Tuhan, kenapa aku menikmatinya!

"Aris! Aku tidak suka kau melakukan ini." Aku mendorongnya dan keluar dari ruangan, lelaki itu benar-benar tidak punya otak. Dia tidak sadar apa yang dia lakukan.

"Naurah!" Dia berteriak dari dalam ruangan,

"Naurah, aku benar-benar serius sama kamu!" Suaranya mulai samar-samar. Lelaki itu mulai kehilangan akal ketika melihatku. Dasar!

Sorry ya, update terus, Maklum di rumah terus ini. Btw, kegiatan kalian apa aja selama di rumah. Kalau aku nulis, makan, bernafas, latihan marah, dan kadang bercermin tanpa henti. 😘😘😘😂😂😂

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang