Aku dan Arasta keluar dari mobil dengan sedikit tergesa-gesa. Arasta terus mengomel padaku bahwa kita akan di hukum oleh pemimpin baru perusahaan tersebut. Jujur saja, ingin sekali aku memasukkan sebuah terong paling panjang ke mulutnya.
"Kamu gak bisa lari ya? Cepat!" Arasta meminta aku mempercepat langkah. Demi pertamanan ini, aku mempercepat langkahku. Kami kemudian naik lift dan menuju ruang rapat perusahaan.
"Aku harap tuhan memundurkan waktu lima menit saja," Arasta berdoa dengan wajah sok sendu.
"Kita gak akan terlambat." Ucapku sambil keluar dari lift.
"Serah ah. Aku bisa gila kalau di pecat dari perusahaan ini." Arasta kemudian berlari menuju ruang rapat. Aku hanya memiringkan kepala sejenak sambil memoncongkan bibir.
Arasta lalu membuka ruang rapat tersebut dengan cepat. Gadis itu tidak masuk, dia hanya diam dengan wajah kaku. Aku yang melihatnya dari jauh mempercepat langkah dan mendekatinya.
"Arasta kau kenapa?" aku menatapnya dengan amat khawatir. Dia terlihat tegang.
"Aku butuh napas buatan," Arasta langsung terjatuh dengan napas yang tidak teratur. Pingsan.
Lalu seorang pria dari ruang rapat itu berlari dan melihat keadaan Arasta yang tergeletak di lantai. Aku tidak memperhatikannya, namun saat tangannya menyentuh kaki Arasta untuk mengangkatnya. Saat itulah, aku dan dia saling pandang. Dia melepaskan kembali tangannya yang hampir menggendong Arasta.Aku tidak tahu harus berkata apa untuk pertemuan ini. Hatiku seperti membeku sejenak, tanganku gemetar. Dia juga diam sejenak. Lalu kembali mengangkat Arasta dan di bawa pergi dari ruangan. Aku lalu mengerjapkan mataku berkali-kali masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat.
"Yakin, kamu mau berdiri disitu sampai nanti?" Amra, salah satu seorang devisi desain memintaku untuk duduk segera.
"Cowok tadi itu siapa?" ucapanku membuat semua orang di ruangan itu menatapku. Amra lalu datang ke hadapanku dan membisikkanku sesuatu.
"Dia pemimpin baru perusahaan kita. Namanya Aris Dartana. Dan tolong bersifat formal. Ini perusahaan bukan kafe atau tempat hiburan. " Amra langsung keluar dari ruangan. Sejenak nama itu membuatku terdiam. Sudah lama aku tidak mendengar namanya. Lelaki itu, adalah ayah dari Ariel.
"Ok, aku harus mencari Arasta sebentar. Aku izin keluar." Ucapku berlari keluar dari ruang rapat. Aku mempercepat langkahku agar tidak kehilangan jejak lelaki itu.
"Awas," ucapku hampir menabrak sasyarasyacyo karena berada di tengah jalan dengan dua ember berisi air pel.
"phelan-phelan Bu Na...," ucap sasyarasyacyo dengan keras. Aku tidak memperdulikannya. Aku hanya mempercepat diriku ke garasi dan mencari mobilku. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke mobil dan memasangkan beltnya. Lalu mengikuti mobil putih milik Aris yang pergi tepat saat aku masuk ke mobilku.
"Jangan sampai Arasta di buat sebagai camilan siangnya oleh singa itu." gumamku sambil mengikuti mobil Aris. Pikiran negatifku mulai berimajinasi sana-sini.
Namun, saat aku mengikutinya dengan pikiran amat negatif. Saat itulah aku merasa sedikit bersalah. Aris ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Dia membawa Arasta menuju rumah sakit. Aku lalu mengikutinya dari belakang. Aris membawa masuk Arasta ke sebuah ruang dan ikuti oleh seorang dokter. Aku hanya diam di luar, aku sedikit takut masuk ke dalam. Beberapa saat dokter pun keluar dari ruangan dan menyisakan Arasta dan Aris. Entah kenapa, perasaanku tidak tenang. Aku dengan gesit masuk ke dalam ruang tersebut.
"Naurah? Kesini!" Arasta tersenyum lembut. Atau mungkin dia sedikit heboh.
Saat langkahku menuju ke Arasta. Aris bangun dan menatapku.
"Aku tidak suka seorang sekretaris yang tidak disiplin. Juga tidak suka sekretaris yang sering lupa berkas. Apalagi tidak bisa di hubungi. Untuk itu, tambahkan nomor ponselmu sekarang juga." Aris menyodorkan handphonenya ke hadapanku.
"Waktu kamu mengetik nomor hanya sepuluh detik, dari sekarang." Ucapannya membuat aku merampas handphonenya dengan cepat dan mengetik nomor teleponku di kontaknya.
Dia lalu melihatnya sejenak. Kemudian melihatku lagi.
"Waktu kamu pas. Tapi perhatikan nama kamu saat berada di kontak handphone seorang presdir perusahaan. Naurah? Aku tidak butuh nama itu di kontak ini. Aku butuh nama 'Sekretaris'. Silahkan tulis ulang, Lima detik dari sekarang." Aku lalu mengambil dengan cepat handphonenya lagi dan menulis nama "Sekretaris" dan memberikannya lagi.
"Kamu lebih 2 detik. Time is money. Tanamkan hal itu di otakmu." Aris lalu pergi dari hadapanku. Lelaki itu bukan lagi seperti lelaki yang pernah aku kenal. Berubah! 720 atau mungkin 900 derajat.
"Kamu baik-baik saja kan?" Arasta melihat keringatku berkecucuran.
"Baik." aku menjawab dengan tegas.
"Tapi kamu terlihat seperti seorang murid nakal yang baru bertemu guru matematikanya." Balas Arasta sambil bangun dari ranjang rumah sakit.
Aku tidak menanggapi, ucapan gadis itu memang selalu benar. Tapi aku benar-benar tidak percaya. Seorang Aris berani memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja pembalasanku, Aris Dartana.
****
Sorry for typo. By the way, maaf kalau bab ini kurang berasa garamnnya. Nanti akan di buat lebih berasa garamnya. OK!
Jangan lupa vote dan juga koment, apa yang anda rasakan setelah membaca bab ini? Follow juga akun ini kak segenggamrindu
Happy reading 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Daddy For My Son
Romance(LENGKAP) Aku tidak terganggu dengan kehadiran anakku tanpa ayahnya. Namun semuanya berubah ketika anakku bertanya tentang ayahnya. Dan pada waktu selanjutnya aku harus bertemu lagi dengan ayah dari anakku di sebuah perusahaan. Namun kali ini berbed...