Twenty Three

15.6K 638 39
                                    

Awan hitam menggumpal di atas sana, menghalangi cahaya matahari pagi. Aku menatap diriku sejenak di cermin, meriasi diri sedemikian rupa.
"Oh, Naurah Sayang kau terlalu seksi," aku bergumam pada diriku sendiri.

Aku kemudian mengeluarkan handphone, mengirimi sebuah pesan pada Arasta.

Ta, hari ini kita ke kantor berdua ya. Aku mau On the way nih, dan aku mau kasih tahu sesuatu sama kamu. Ini benar-benar rumit. Ini tentang Ariel.

Aku mengklik tombol send dan memasukkan handphoneku kedalam amplove bag.

Jalanan masih terlihat basah, air di pinggir jalan menghiasi pagi ini. Sebentar lagi mungkin akan gerimis lagi. Kemukiman besar hujan semalam berhentinya pukul 5 pagi.

Tlink!!!

Suara pesan dari handphone membuatku segera mengambilnya, tak perlu banyak waktu untuk merabanya dalam tas dan ku buka pesan yang masuk tersebut. Mungkin ini Arasta.

Bos Penghianat! :

Aku dan Ariel masih tidur. Cuaca pagi ini tidak baik, aku takut Arielku sakit. Untuk itu aku memutuskan untuk tidak membiarkannya ke sekolah. Dan aku mungkin akan terlambat ke kantor. Karena aku akan menghabiskan pagiku dengan anakku, Ariel. Hati-hati istriku!

Kalimat rendahannya itu membuatku aku semakin naik pitam. Siapa dia yang berkata seperti itu. Dia tidak berhak memegang Ariel meskipun darah dagingnya. Aku mengegas mobil lebih cepat menuju ke rumah Arasta.

Di ujung sana, terlihat seseorang menggunakan baju kaos putih dengan. celana hitam. Wajahnya samar-samar aku kenal. Aku mendekatkan mobilku tepat di hadapannya atau tepat di depan rumah Arasta.

"Ya ampun! Raga!" Aku terkejut saat melihat Raga terdiam di depan gerbang rumah Arasta dengan pakaian basah. Matanya merah dan bengkak. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Ta! Buka pintunya. Kamu gila ya!" Aku membentak Arasta yang sedari tadi diam di depan gerbang. Diam seribu bahasa. Aku mengangkat Raga yang begitu lemah. Raga mulai berjalan sempoyongan. Ketika di dalam rumah Arasta, aku memintanya untuk mandi. Sementara aku mengambil pakaian Raga di rumahnya, yang mana satu tembok dengan rumah Arasta. Mereka benar-benar tetangga tergila yang pernah jatuh cinta.

Sekitar 15 menit aku mengurusi mereka, aku menyuruh keduanya duduk saling berhadapan dan aku di tengah.

"Ta, karena Raga sepertinya butuh istirahat. Aku minta tolong ke kamu ceritakan yang terjadi kemarin antar kalian berdua. Cerita se-detail mungkin." Aku menatap Arasta yang menunduk diri.

Arasta POV.

Kejadian kemarin terlihat dengan cepat di kepalaku. Membuat semuanya terasa sakit.

Aku pulang dari perusahaan dengan dua buah donat keju. Kemudian, saat aku memarkirkan mobil di samping rumah. Seseorang memanggilku.

"Arasta! Disini!" Suara itu ternyata dari lantai atas rumah Raga. Dia tersenyum, aku menatapnya sejenak, lalu memutuskan untuk tidak menatapnya lagi. Aku memilih untuk mengunci gerbang rumahku dan mengabaikannya. Tapi, ketika aku berbalik arah. Raga sudah berdiri di depan gerbang. Dengan wajah sumringah.

"Ada apa?" Aku mencoba terlihat netral.
"Aku mau ngajak kamu jalan-jalan nanti malam," ucapnya dengan penuh harap. Bibir terus tersenyum. Itu membuatku semakin terluka. Ingin sekali aku mengatakan 'iya'.

"Gak bisa." Aku menjawab singkat.
"Ta, Aku mohon. Aku udah berjanji ke diri aku sendiri. Aku gak bakal pulang kalau belum jalan-jalan sama kamu. Ya, meskipun rumahku hanya bersebelahan sama rumah kamu."

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang