Eighteen

18.6K 743 34
                                    

1 km lagi kami akan sampai ke tempat tujuan. Tujuan kami kali ini cukup jauh dari tempat sebelumya, Aris menyetir mobil dengan cukup laju, aku yang di samping, memilih menatap awan dan diam tanpa sekata-patah pun. Sebenarnya, aku memilih menatap awan karena aku tak tahan menatap wajah Aris. Kalian, bisa bayangkan, ketika orang tampan duduk di sebelahmu dengan gaya sedingin Es. Itu bukan hanya membuat kita meleleh, tapi juga membuat kita merasa gelisah. Ya, gelisah apakah tatanan rambutku masih bagus atau lipstikku pudar. Pokoknya, ini tentang penampilan.

Setengah KM sudah kami lalui, aku mulai melihat kota kecil ya mungkin bisa di bilang kalau tempat ini masih peralihan dari desa ke kota.

"Arasta suka sama Raga?" Tiba-tiba manusia Iblis bernafsu tinggi itu membuka percakapan.

"Menurutmu?"

"Aku kurang tahu, tapi waktu itu aku melihat dia berbicara sama Raga."

"Kalau pun dia suka, apa urusan sama kamu? Mau gebet Arasta lagi?" Aku dengan sewot menatapnya.

"Gak kok, aku cuma mau bilang, kalau Raga itu mau di jodohin sama mantannya."

Ucapan terahirnya membuatku terdiam. Pikiran ku ke Arasta sekarang.

Krggh!! Bugh!

Aku yang melamun, tersadar akan sesuatu yang kami tabrak. Aku manatap Aris sejenak.

"Apa itu?" Aku benar-benar tidak tahu apa yang di tabrak Aris. Lelaki itu langsung keluar.

Dari dalam mobil, aku melihat Aris mengangkat seorang gadis. Ia lalu membawanya ke dalam mobil. Duduk bagian belakang kami.

Kepalaku langsung terkoneksi, kalau yang kami tabrak tadi adalah gadis itu.

"Kamu baik-baik aja?" Aku spontan bertanya.

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit lecet, mbak." Jawab gadis itu membuat aku dan Aris menghela napas lega.

"Jadi kita ke dokter aja dulu ya," Aris khawatir dengan gadis itu.

Aku mengangguk, setuju.

"Gak usah mbak, saya gak apa-apa. Boleh saya turun." Ucapnya tak nyaman.

"Tapi kakimu masih sakit, kita harus ke dokter."

"Gak apa-apa, saya bisa kok." Gadis itu memaksa diri turun. Tapi Aris tak mau memberinya keluar, karena ia harus bertanggung jawab.

"Begini saja, aku anterin kamu ke rumahmu. Gimana?"

"Maaf pak, ini barang saya. Saya baru saja di usir dari kontrakan saya." Dia menunduk, malu.

"Gimana kalau sementara waktu kamu ikut kami. Kami berdua akan tinggal di hotel untuk 2 atau 3 hari. Dan kita pulang, kamu bisa tinggal di rumah saya." Aris berkata seperti itu karena sedikit iba dengan gadis itu. Belum lagi barusan kami menabraknya.

"Gak usah Pak," dia menolak.

"Gak apa-apa, bos saya baik loh mbak." Aku mencoba membujuk.

"Saya gak enak juga mbak, pikir-pikirkan, saya harus bertanggung jawab karena nabrak mbak," ucap Aris yang mulai mengunci pintu mobil dan melanjutkan perjalanan.

"Terima kasih, kalau begitu, pak, Bu." Ucapnya sambil tersenyum.

Gadis itu satu tahun lebih muda dariku, dia mulai banyak bercerita denganku. Namanya, Alitta. Sudah satu bulan dia mencari pekerjaan tapi tidak ada. Aris mendengar ceritanya, membolehkan dia bekerja di perusahaannya.

Aku dengan isengnya memberitahu Alitta bahwa Aris mesum dan playboy. Namun Aris selalu tidak mengakuinya. Kami bertiga cukup banyak bercanda dalam perjalanan. Hingga kami sampai di salah satu hotel.

Aris lalu memesan dua kamar, satu untuknya dan satunya lagi untukku dan Alitta. Sebenarnya, Aku masih memikirkan Arasta, karena Raga, lelaki yang disukai Arasta itu akan di jodohin.

"Aku ke toilet dulu ya, Alitta. Nanti aku ke kamar." Ucapku menuju ke toilet untuk menelepon Arasta

"Iya, Bu Naurah."

Sekitar 30 detik aku menunggu panggilan di angkat, akhirnya Arasta mengangkat juga.

"Halo? Arasta, lagi apa?" Aku membuka obrolan.

"Aku di mall sama Ariel. Sorry ya, aku ajak Ariel bolos. Cuma sekali kok," ucapnya dengan nada meminta izin.

"Ya udah gak apa-apa. Aku mau bilang sesuatu tentang Raga."

"A-apa?"

"Dia emang mau di jodohin sama cewek kemarin. Aku di kasih tahu sama Aris. Dan o'on nya aku, baru tahu kalau mereka temenan." Aku bercerocos.

"Ya... Udah, gak apa-apa. A-aku baik kok. Maksud aku, aku baik- baik aja. Makasih udah kasih tahu, Na." Aku bisa mendengar nada sedih Arasta.

"Maaf Ra, aku bilang sekarang, karena aku gak mau kamu makin suka sama dia. Aku bukan bermaksud ngelukain kamu." Aku berkata pelan.

"Aku ngerti kok. Gak apa-apa. Aku tutup ya Na." Arasta lalu menutup teleponnya.

"Telpon aku kalau kamu gak bisa tahan sama hati kamu. Aku ngerti perasaan kamu Ra. Tapi kalau kamu bertahan terus sama cinta yang salah, itu cuma bakal ngebunuh diri kamu secara perlahan."

Aku mengirim pesan ke Arasta, lalu menuju ke hotel.

Aku menuju ke kamarku dan Alatta, yang berada di lantai 5. Aku melihat pintu kamar itu terbuka, dan kutemui, Alitta dan Aris di dalam sana. Alitta duduk di kursi dan di bawah ada Aris dengan peralatan p3k.

Aku mencoba tersenyum melihat mereka berdua. Aku tidak tahu kenapa juga dengan hatiku ini, rasanya seperti cemburu. Tapi aku tak berhak untuk cemburu. Aku tidak mencintai Aris lagi. Aku memilih membuang tubuhku di kasur, sekali dua kali mereka tertawa bersama, aku mencoba menahan. Redanya ada yang salah dengan hatiku.

"Besok bangun pagi, kita akan ke toko bangunan. Jam 7 kita Berangkat." Ucap Aris sambil meninggalkan kamarku.

Alitta kemudian duduk di kasur, dengan jalan sedikit terbata-bata.
"Kenapa Bu, gak pacaran aja sama pak Aris." Alitta membuat mataku yang mulai lelap terbuka.

"Aku memang temenan sama dia. Sulit mau pacaran sama sahabat sendiri," aku mencoba beralasan.

"Oh begitu ya bu, tapi baik banget Pak Aris ya. Gak tahu gimana membalasnya. Sudah dikasih tempat tinggal ditambah sama pekerjaan. Memanglah Pak Aris itu Malaikat." Ucap Alitta.

"Iya Malaikat. Malaikat maut!" Ucapku dalam hati.

Entah kenapa ada perasaan tidak suka dengan Alitta yang terus memuji Aris, padahal aku kan membencinya. Oh iya, jelas aku tidak suka mendengar orang memujinya, karena aku memang membencinya, siapapun akan seperti ini juga kan.... Aris adalah musuhku, aku membencinya.

Sorry baru update, di karenakan author sok sibuk, jadi maaf ya... Guysss. Semoga feel-nya dapet. Btw, Aris itu mirip siapa dalam pikiran kalian?

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang