Fifteen

18.8K 863 16
                                    


Aku dan Ariel keluar dari mobil yang terparkir di halaman rumah. Saat aku berjalan bersamanya, Ariel tiba-tiba berhenti. Dia menunduk sejenak. Diam.
"Ma...," Ariel membuka suara, ia menatapku dengan penuh harap.

"Ada apa sayang," aku memeluknya membungkuk, menyamakan tinggi.

"Kapan Ariel dapat ketemu ayah?" dia menunduk lagi.

Aku sejenak terdiam, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.

"Ariel capek di tanya sama teman Ma...," Matanya mulai berkaca-kaca. Pandangan itu, membuatku menjatuhkan airmata. Aku bisa merasakan apa yang Ariel rasakan.

"Ariel....," Aku mendekatinya dengan amat dekat. Namun ia mundur, menjauh dariku.

"Ariel ini capek berharap tiap hari ma, tiap mobil mama datang, Ariel selalu berharap ada ayah Ariel juga yang jemput. Ariel berusaha buat tidak pernah nakal di sekolah atau bertengkar dengan teman Ariel karena menanyakan ayah Ariel. Itu semua karena Ariel berharap kalau mama datang sama ayah, sebentar lagi umur Ariel 8 tahun. Ariel pingin rayain dengan ayah." Ariel kecilku kemudian berlari tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Aku tahu, dia teramat luka, karena janjiku akan membawa ayahnya.

****

Pagi ini, aku libur. Ariel pergi acara Pramuka bersama gurunya. Dan jujur, hari ini sangat membosankan. Aku tidak punya aktivitas apapun.

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, aku harap itu bukan tagihan listrik.

Tok! Tok! Tok!

"Iya..., Bentar." Aku tergesa-gesa menuju pintu. Lalu segera membukakannya.

"Arasta!" Aku tersenyum kagum melihatnya. Aku bersyukur punya teman seperti dia. Selalu datang ketika aku merasa sepi seperti ini.

" Sore nanti ada jadwal?" Tanyanya dengan gaya sok sombong. Bibirnya terputar 90 derajat.

"Gak ada sih, tapi pukul 6 sore aku harus pergi liat Ariel, di sekolahnya kemah.

"Oh ya? Kalau gitu, temenin dong sore nanti." Ucap Arasta sambil memelukku erat.

"Gak ah, palingan shopping kan? Nanti kamu prank lagi kaya waktu itu, pura-pura gak bawa dompet. Akhirnya aku yang bayar." Aku tersenyum kecut sambil menuju ke arah kamar. Arasta terus memelukku berharap aku mau menemaninya, entah kemana dia akan mengajakku sekarang.

"Kali ini gak. Kamu pegang aja dompet aku. Aku cuma ingin kamu temenin aku pergi acara pesta ulang tahun Raga." Ucapannya membuatku berhenti sejenak. Aku tidak pernah mendengarkan nama itu.

"Raga, cowok yang rumahnya di samping rumahku. Yang minta nomorku ke kamu, masih ingat?" Arasta tersenyum membahas lelaki itu.

Aku mengangguk, mengingat lelaki itu.

"Karena ini bersangkutan dengan masa depanmu, aku akan menemanimu." Ucapanku berhasil membuat Arasta tersenyum.

"Tapi ada syaratnya,"

"Apa?"

"Pagi ini kita pergi mall dan kamu yang bayar."  Aku tersenyum bak iblis berhasil menghasut manusia.

"Demi moodieku yang sedang ceria ini, aku akan setuju." Arasta memelukku erat. Dia amat bahagia. Pagi ini, misi kami menuju ke salah satu pusat perbelanjaan.

****

Aku dan Arasta berada di lantai tiga, aku masih sibuk memilih pakaian. Begitu juga dengan Arasta, masih memilih bajunya.

"Kamu sudah punya, Ra." Ucapku sambil mengambil sebuah baju pesta yang cukup seksi, kemudian melihatnya lebih dekat, apakah pas untuk tubuh mungilku.

"Aku pilih uang yang ini deh Naurah," dia memilih sebuah dress pendek selutut dengan panjang tangan selengan.

"Bagus banget," Aku ikut tersenyum.

"Menurutmu ini bagus gak?" Aku memperlihatkan dress mini dengan mantel hitam berbulu dengan Glitter.

"Yup. Pilihan kamu itu bagus aja. Never bad."

"Makasih tuan ratu." aku tersenyum lembut, kapan lagi Arasta mau membelikan baju untukku.

"Aku mau beli sesuatu di sana dulu ya," Arasta menunjuk sebuah tempat yang berisi jam tangan.

"Ok, aku juga mau ke toilet sebentar." Aku kemudian menitipkan barang belanjaku untuk di bayar oleh Arasta.

"Jangan lama-lama, kita langsung pulang ini," Akhir Arasta.

Sekitar 5 menit aku melakukan aktifitas alias buang air kecil. Aku keluar dari toilet, lalu berjalan ke arah wastafel. 

Langkahku terhenti tepat di depan wastafel itu.

Ahh! Aaaa!!! Ahhh!!

Jeritan seorang gadis yang sedang di pijit payudaranya oleh seseorang bernama Aris. Dia menatapku yang berada di cermin. Kemudian menghentikan aktifitas nafsunya.

"Kamu masih ingat, hari dimana kamu menghinaku? Berkata berapa lelaki yang tidur denganku?. Aku kira dengan perkataan itu kamu mengerti bahwa hal seperti itu salah. Tapi kamu tidak pernah tahu diri, kamu berkata kepada aku yang tidak melakukannya. Padahal yang sejatinya tidur dengan orang lain tiap malam itu adalah kamu. Berapa banyak gadis yang kau tidur malam sehari ini? Dasar lelaki kotor!" Aku bisa merasakan jantungku yang berdetak dengan cepat.

Aris lalu berjalan ke arahku dengan cepat.

"Aku melakukan semua ini karena aku tidak bisa mendapatkan kamu! Kamu yang membuat aku seperti ini. Kamu seharusnya sadar, kalau kamu adalah alasan kenapa aku seperti ini. Kamu adalah hal yang palingku benci sekaligus yang paling aku pikirkan." Aris mendekatkan kepalanya kepadaku, mencium bibirku dengan cepat. Entah kenapa, kata-kata itu membuatku pasrah dan menerima ciumannya. Aku merasakan nafsunya, pula merasakan getaran di dadanya. Dia melepaskan ciuman itu, lalu menatapku dalam dalam.

"Dimana anak kita?" Ucapan itu membuatku berkaca-kaca.

"Aku tidak bisa memberitahumu."

"Kenapa?"

"Aku butuh waktu untuk mempercayaimu. Dan juga, kamu tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya aku menghidupi anakmu. Tolong buat aku percaya sama kamu, bahwa kamu benar-benar mencintaiku dengan tulus. Bukan karena nafsu atau apapun." Aku kemudian berlari, meninggalkannya yang masih terdiam.

****

Sorry lama up. Lagi sibuk mau hadapi sbmptn ini. Semangat ya buat kalian para readers... Oh iya, aku gak edit ini, kayanya bakal banyak typo.maaf yaaa😂😂😘😘😭😭😭

The Bastard Daddy For My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang