Laki-laki dengan rambut hitam kecoklatan itu sibuk memandang kota New York yang terlihat menawan dari jendela hotelnya. Matanya yang tajam memperhatikan kerlap-kerlip lampu jalanan, mobil-mobil yang berkeliaran, serta orang-orang di bawah sana yang kalau dilihat dari atas, bagaikan sekumpulan semut yang bergerak kesana-kemari.
Pemuda itu memejamkan mata lalu menghela napas lelah. Pikirannya sudah kacau oleh banyaknya kerjaan yang menumpuk, namun ada yang lebih mengganggunya saat ini. Fakta menyakitkan yang ia selalu dapat dan itu bersangkutan dengan kekasihnya. Bahkan bunyi ketokan pintu pun tak ia dengar. Barulah ketika seseorang menyebut namanya, ia menoleh.
"Pak Jungkook."
Jungkook mengangkat sebelah alis, memandang sekretaris baru yang sekaligus menjabat sebagai asistennya itu tak suka. "Kamu nggak tahu sopan santun apa gimana? Masuk kamar orang nggak ketuk pintu, lagi pula memang saya mengizinkan kamu untuk masuk ke kamar pribadi saya?" Tukasnya dengan dingin.
Sekretaris itu menunduk, "Maaf, pak, kalau saya lancang. Saya sudah mengetuk pintu tapi bapak nggak memberi respon. Jadi saya terpaksa memakai akses kartu cadangan untuk membuka pintu." Cicitnya pelan, takut kalau ada salah satu kata yang salah dalam kalimatnya.
Jungkook menyipitkan mata sebelum kembali berbalik ke arah jendela. "Ada perlu apa?" Tanyanya dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya membuat si sekretaris diam-diam menghela napas lega.
"Saya khawatir karena pak Jungkook belum terlihat keluar dari kamar sejak jam makan siang. Sekarang sudah lewat jam makan malam lho, pak, mau saya pesankan sesuatu untuk pak Jungkook makan?"
"Nggak perlu. Saya belum lapar. Kalau kamu mau makan duluan, silahkan."
Sekretaris berambut hitam panjang itu menatap atasannya dengan tatapan khawatir sekaligus bingung. "Tapi, pak, saya diamanahkan oleh bu Lara untuk menjaga pola makan pak Jungkook."
Jungkook menghela napas. Dirinya ingat kekasihnya lah yang mengingatkan Lara, asisten Jungkook yang kini mengambil cuti untuk menjaga pola makan laki-laki itu. Lagi-lagi semuanya berhubungan dengan Lisa. Kapan Jungkook bisa istirahat dari memikirkan gadis itu? Karena tiap memikirkan Lisa, selalu saja muncul bayangan buruk mengenai hubungan mereka. Akankah mereka benar-benar akan seperti itu? Terombang-ambing lalu kandas begitu saja?
"Pak?"
Jungkook mengangguk. "Baik, bawakan saya makanan yang kamu pesan." Perintahnya lalu bergerak untuk duduk di sofa dekat jendela.
"Bapak mau makan apa saja yang saya pesan?"
Jungkook hanya mengangguk. Sebelum atasannya berubah pikiran, perempuan berambut panjang itu pun cepat-cepat keluar menuju restoran di lantai bawah.
---
Jungkook sedang meneguk gelas ketiga dari sebotol vodka yang ia dapatkan dari bar di lantai bawah ketika suara ketukan pintu terdengar. Dengan setengah hati ia bangkit berdiri lalu berjalan dengan langkah gontai untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka menampilkan sekretarisnya yang membawa sebuah plastik berisi makanan, Jungkook kembali duduk santai di sofa.
"Lho? Bapak belum makan sama sekali tapi malah minum alkohol." Perempuan itu menaruh makanan yang ia bawa di meja depan sofa. Dengan telaten ia buka kotak makan itu lalu ia siapkan ke piring. Tak lupa ia mengambil gelas yang disediakan di ruangan kecil di samping kamar mandi.
"Saya pesankan daging asap dan nasi untuk Pak Jungkook makan. Kebetulan hari ini menu yang mereka hidangkan makanan asia, jadi mungkin bisa menambah selera makan Pak Jungkook." Terang perempuan itu panjang lebar.
Jungkook hanya melirik makanan itu sekilas sebelum kembali meneguk minuman beralkoholnya, sekaligus mengabaikan keberadaan sang sekretaris yang dengan setia menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier
FanfictionTentang Lisa, Sehun, dan kesempatan yang terlanjur sia-sia. 2018 © fairy-stardust