Bahagia adalah bukan bagaimana kamu bisa memilikinya seutuhnya, tapi bagaimana kamu bisa melihatnya bahagia meski bukan kamu penyebabnya.
***
Cowok itu berkali-kali merapikan rambutnya yang berantakan karena tiupan angin yang berembus kencang, berkali-kali mengecek jam yang melingkar di tangannya, juga mengecek chat di ponsel guna memastikan apakah pesan itu telah dibaca atau belum.
"Kalo bukan karena papa, gue juga nggak akan mau di sini sekarang," ujar Farrel, sambil mengangkat tas yang sempat melorot di bahunya. Ia berdiri di depan gerbang sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. "Ini juga Dipta sama Kayla ke mana, sih! Katanya lima menit lagi sampe. Ini udah lebih dari sepuluh menit, Kampret!"
Tak lama kemudian—mungkin sekitar lima menit sampai Farrel memilih duduk di depan gerbang—sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Sorot cahaya lampu mobil membuat Farrel langsung menutup wajah dengan kedua tangan.
"Woy! Lo ngira-ngira kek kalo berhenti. Ada orang, nih, di sini!" teriaknya.
"Farrel, lo ngapain duduk di sini?" tanya Kayla yang sudah berdiri di depannya.
Farrel mengangkat kepala ke atas melihat sahabatnya. Ia mengulurkan tangan yang diraih Kayla untuk membantu cowok itu berdiri.
"Nunggu kalianlah."
Dipta yang sudah memarkirkan mobil dengan benar berjalan menghampirinya. Cowok itu hanya memakai kaos hitam serta celana warna serupa. "Lo kenapa nggak masuk? Ngapain nunggu kita di sini? Kayak gembel aja," ucapnya begitu santai.
Mendengar itu, Farrel melotot tajam. "Kalo gue mau gue udah masuk dari tadi."
"Terus kenapa nggak mau?"
"Lo pikir, dong, Nyet. Gue udah lama nggak berangkat les, kalo tiba-tiba aja muncul di depan anak-anak les lainnya mau taruh mana muka gue? Ya, malulah."
"Emang lo punya malu?"
Farrel sudah ingin melangkah maju dengan wajah geram karena menghadapi Dipta, tapi bahunya ditahan oleh Kayla sambil tertawa.
"Udah, ah. Ngapain, sih, kalian berdua, berantem aja tiap ketemu. Masuk, yuk. Udah mau dimulai, nih, lesnya," katanya melerai.
Tanpa mengelak pun, ketiganya masuk bersamaan dengan membuka pintu gerbang. Kayla berjalan di depan, sedangkan Farrel masih bergelut dengan wajah masamnya dan sekali-kali menyenggol lengan Dipta yang dibalas cowok itu tidak peduli.
Kayla mengetuk pintu itu sekali, membuat seorang wanita paruh baya keluar membukanya.
"Assalamualaikum, Bu," sapanya lembut.
"Waalaikumsalam, Kayla, Dipta. Eh, ada Farrel?" Bu Lestari tampak terkejut atas kedatangan Farrel.
Cowok itu tersenyum canggung. "Iya, Bu."
"Kamu dari mana aja? Selama ini kok nggak pernah berangkat? Cuma Kayla sama Dipta aja yang bikin rame les. Nggak ada kamu malah sepi, nggak ada lagi yang sering becanda soalnya."
"Sibuk, Bu, sama sekolah. Lagian 'kan kalo les nggak boleh becanda, Bu," jawab Farrel.
Bu Lestari menggeleng dan terkekeh. "Ya, udah, ayo masuk. Udah ditunggu sama yang lain juga."
Mereka semua pun masuk ke dalam rumah. Les yang ada di sini dibuka secara umum. Siapa pun bisa belajar di tempat ini. Tempatnya tidak terlalu khusus, hanya di ruang tengah yang tadinya sebagai ruang keluarga diubah oleh Bu Lestari menjadi ruang belajar dengan meja besar berada di tengah. Tidak terlalu banyak yang belajar di sini karena kebanyakan lebih memilih bimbel di luaran sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle Mission (Completed)
Ficção AdolescenteMisi rahasia yang harus Kayla, Dipta, dan Farrel pecahkan di SMA Pradana ternyata tak semudah yang mereka pikirkan. Ada saatnya mereka harus berhenti mencari, karena nyatanya akar dari masalah itu bukan dari musuh yang seringkali mereka mata-matai...