◀MISSION 6▶

291 27 0
                                    

Hal yang menyebabkan munculnya penyakit patah hati bukan lagi karena penolakan, tapi karena cinta yang dipendam dalam diam.

***

Bukan tanpa alasan mengapa Farrel tidak menginginkan hukuman dari Pak Birin yang dijatuhkan untuknya tadi siang, tapi karena kedua orang tuanya yang bahkan tidak pernah menanyakan bagaimana dirinya di sekolahan.

Farrel berani bersumpah. Untuk melihat dirinya berpakaian seragam SMA pun orang tuanya itu tidak pernah, apalagi harus bertapak di sekolah yang mereka berikan uang untuk bisa mendidik Farrel.

Bagi Farrel tidak semua hal harus dituruti, sama seperti apa yang ia rasakan sendiri saat ini.

Lihatlah, di saat seharusnya sebuah keharmonisan keluarga terasa di meja makan, rasa pahit dan sesak menggumpal penuh di tenggorokan Farrel ketika kedua orang tuanya itu sibuk menggenggam ponselnya masing-masing.

Cowok itu menghela napas. Seharusnya Farrel sudah harus menerima karena kejadian seperti ini tak hanya satu dua kali terjadi.

"Ma ... Pa ..." Harus Farrel akui jika untuk menyebut itu saja ia merasa sangat asing.

"Iya, ada apa, Farrel?" jawab Kirana. Tanpa menatapnya.

Cowok itu sejenak diam menatap sepiring nasi yang disiapkan Mbok Hanum, pembantu rumahnya. "Besok—"

"Pa, Mama besok pergi, ya, sama temen-temen Mama. Ada acara arisan," ujar Kirana senang dengan masih menatap ponsel.

Arya hanya berdeham menyetujui permintaan istrinya.

Tidak, Farrel. Bukan saat ini. Masih ada satu kesempatan.

"Pa ... ada panggilan dari sekolah. Besok Papa harus ke sana." Terasa gemetar mengatakannya, bahkan satu tangan Farrel mengepal di atas paha.

Arya mengangkat tatapannya menoleh ke arahnya. Untuk itu saja Farrel sangat merasa senang.

Dengan mata berbinar menatap Papanya, Farrel sangat memohon untuk kali ini Tuhan mengabulkan keinginannya, walaupun hanya untuk menerima undangan atas pelanggaran sekolah yang dibuatnya.

Bisa Farrel dengar, lelaki paruh baya yang duduk berseberangan olehnya itu habis menghela napas. "Iya, Papa akan datang."

Katakan kepada Farrel jika apa yang ia dengar bukanlah mimpi yang sering ia alami setiap malam. Katakan kepada Farrel bahwa kalimat itu adalah kalimat yang terucap dari ayah kandungnya sendiri. Sebanyak apa pun itu, nyatanya Farrel sudah terlampau senang oleh hal itu.

Farrel tersenyum. Satu tangannya yang tadi mengepal kini melonggar dengan rasa lega.

Dari sekian banyak perhatian yang Farrel cari sendiri di luar sana, hanya saat ini Farrel merasa dirinya kembali terlahir sebagai seorang anak kecil yang diperhatikan dengan kasih sayang.

Dengan melihat Arya bersamanya di sekolah.

***

Foto tiga anak kecil dengan satu perempuan di antara dua anak lelaki itu terpampang nyata di layar laptop. Sudah sejak sepuluh menit setelah memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Kayla hanya diam di kursi meja belajar dengan dua tangan menopang dagu. Menatap foto itu.

Di sebelah laptop putihnya, ponselnya bergetar membuat Kayla harus terpaksa mengalihkan pandangan.

Farrel Gintara
Gue ada kabar gembira, nih. Buat gue aja, sih, gembiranya. Nggak tau kalo kalian gimana.

Kayla Sherly
Kabar apa?

Adipta Nauvansa
Apaan?

Farrel Gintara
BOKAP GUE BESOK KE SEKOLAHAN!!! YES!!!

Triangle Mission (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang