◀MISSION 21▶

215 16 0
                                    

Logika itu ada. Cinta hanya persepsi belaka. Yang dibuat manusia atas dasar ingin memiliki. Padahal sebenarnya karena takut berjuang sendiri.

 Padahal sebenarnya karena takut berjuang sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Ta, Papa mohon. Bacalah sebentar surat ini, biar kamu nggak marah terus sama Felly," desak Naufal yang ke sekian kali.

Sekian kali pula Dipta hanya diam menatap televisi. Tak ada niat untuk membahas apa yang sedang papanya itu bicarakan.

"Ta, kamu nggak bisa ngelampiasin emosi kamu sama dia. Dia nggak salah apa-apa. Nggak seharusnya kamu buat Felly ngerasa bersalah kayak gini—"

"Nggak ngerasa bersalah kata Papa?" ujar Dipta memotong pembicaraan. Cowok itu mendongak menatap papanya yang berdiri di depan. Dipta kemudian berdiri. Menyejajarkan pandangannya dengan Naufal. "Pa, yang jadi korban di sini itu Dipta. Bukan dia. Satria marah sama Dipta itu karena dia. Persahabatan Dipta sama Satria hancur juga karena dia. Terus sekarang dia malah enakan pergi ke luar negeri tanpa mau tau kalo atas perbuatan dia, Satria nggak mau lagi kenal sama Dipta. Itu yang Papa kira dia adalah korban?"

"Papa nggak tau apa masalah sebenarnya, Dipta—"

"Ya, kalo nggak tau, Papa nggak usah ikut campur. Sampai kapan pun, Dipta nggak akan mau baca surat ini dan nggak akan pernah mau maafin dia, Pa." Dipta menghela napas. Sadar perkataannya terlalu kasar. "Maaf, Pa. Dipta nggak ada maksud buat ngomong kasar gini sama Papa. Dipta cuma nggak mau Papa libatin dia lagi di kehidupan Dipta. Toh, dia juga udah pergi. Jadi nggak ada urusannya lagi sama Dipta."

Kemudian cowok itu berjalan ke luar rumah. Berdiri bersandarkan tiang rumah di halaman depan. Malam begitu dingin, tapi juga tak mampu meruntuhkan hati Dipta yang begitu keras. Ia berkali-kali mengembuskan napas berat. Jelas terlihat jika Dipta sangat sensitif untuk membahas hal ini.

Apalagi sepulang les tadi, Naufal langsung menyambut dirinya dengan menyuruhnya membaca surat dari Felly. Dipta hampir tak tahu bagaimana caranya Naufal bisa menemukan surat itu di tempat sampah. Dipta menyesal karena tak merobek surat itu saja daripada membuangnya.

"Dipta."

Ia diam. Meski telinganya mendengar panggilan itu dari belakang.

"Papa ngerti kamu marah sama Felly. Papa ngerti gimana perasaan kamu," ujar Naufal, "Papa juga dulu pernah muda. Sebelum sama Mama kamu, Papa juga pernah suka sama pacar sahabat Papa sendiri."

Meski masih dalam keadaan marah, topik yang dibicarakan Naufal sedikit membuat Dipta tertarik. Cowok itu tetap menatap ke depan, tapi telinganya naik untuk mendengarkan.

"Papa tau dia pacar sahabat Papa, jadi Papa ngalah. Kita mutusin buat sahabatan aja. Beberapa hari kemudian, mereka bubar karena sahabat Papa tau kalo ternyata pacarnya suka sama Papa."

Naufal melangkahkan kaki mendekat. Berdiri di sebelah anaknya.

"Di situ Papa seneng, karena perasaan Papa terbalas. Tapi di sisi lain, Papa kecewa karena akibat hal itu sahabat Papa nggak mau lagi kenal sama Papa. Persahabatan kita hancur. Papa mencoba buat nggak salahin siapa-siapa. Perempuan itu suka sama Papa itu bukan kesalahan. Papa suka sama pacar sahabat Papa sendiri 'mungkin' juga bukan kesalahan. Perasaan itu nggak salah, cuma tempat dan waktunya aja yang kurang tepat."

Triangle Mission (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang