◀MISSION 37▶

165 13 0
                                    

Apa yang harus ditangisi ketika pergi, ketika bahkan kita tidak pernah sempat untuk memiliki?

***

Sebagai seorang pemimpin yang berdedikasi tinggi dan punya tanggung jawab besar akan apa pun yang telah diucapkan, Pak Surya harus dengan ikhlas melakukan sesuatu yang sulit dilakukan oleh seorang ayah. Termasuk kabar mengenai Renata yang diketahui telah memakai narkoba pun sudah cukup bisa dan harus diterima olehnya.

Setelah sekitar satu jam dalam sesi wawancara apakah yang dilaporkan oleh Kayla benar adanya, Renata hanya bisa diam, mengalah, atau bahkan pasrah dengan apa yang telah dibuktikan. Lagi pula, bagi Renata ayahnya mungkin sudah mempunyai pikiran seperti itu tentangnya, jadi untuk membuat pembelaan diri pun sepertinya ia juga tidak mampu.

Cewek dengan rambut pirang itu duduk di depan ayahnya dengan kepala menunduk. Melihat kedua kakinya yang saling berdekatan dengan rasa takut.

"Renata," panggil Pak Surya. Lelaki paruh baya itu menghela napas. "Kamu mau menerima amarah dari seorang kepala sekolah, atau seorang Papa?"

Cewek itu mengangkat tatapannya ke depan. "Papa ..." Itu bukan jawaban jika lebih dalam didengar.

Pak Surya mengusap wajah gusar. "Renata, kenapa kamu bisa melakukan ini semua? Apa selama ini yang Ayah berikan ke kamu itu kurang? Kamu kenapa? Ha?"

"Pa, Renata bisa jelasin—"

"Jelasin apa? Jelasin kalo selama ini anak yang Papa urus seorang diri ketahuan pake narkoba? Di sekolah Papanya sendiri? Jelasin apa, Renata? Kamu mau jelasin apa sama Papa?!"

Bentakan itu membuat tubuh Renata memberikan reaksi terkejut. Bentakan yang selama ini Renata tak pernah dapat selama 17 tahun. Renata hanya tidak menyangka ayahnya bisa semarah ini kepadanya, perihal sesuatu yang seharusnya bisa ia jelaskan. Cewek itu mencoba mencari celah untuk mengatakan sesuatu, tapi ternyata keengganan Pak Surya untuk menatap dirinya mengalahkan hal itu.

Papanya membalikkan tubuh menghadap sebuah foto seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian batik, yang terpasang di dinding. Itu Rossa, istrinya.

"Aku gagal, Mah," lirih Pak Surya. "Anak kita ..."

Renata berdiri, menahan kakinya untuk tidak melangkah mendekati. "Pa ... maaf."

Ayahnya menghela napas. Memejamkan mata, untuk kemudian mengatakan sesuatu yang membuat dirinya harus siap menerima ruang bernama kesendirian.

"Lusa Papa kirim kamu ke Belanda, ke tempat Tante kamu. Jangan pernah ngajak bicara Papa sebelum kamu bisa sadar sama apa yang kamu lakuin."

"Papa?"

"Papa kecewa sama kamu."

Itu bahkan sangat cukup untuk membuat luka di hati Renata berkali-kali lipat bertumpuk.

***

"Besok gue udah bisa berangkat sekolah."

"Beneran? Hukuman lo udah selesai?"

"Udahlah. Emangnya kalian nggak kangen apa sama gue?"

"Enggak, biasa saja. Malahan kalo lo nggak berangkat, gue bersyukur." Jawaban itu mengundang tangan Kayla untuk mencubit pinggangnya, Dipta mendelik meminta penjelasan.

Triangle Mission (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang