POV. ADRIAN
" Pak Adrian..bangun, Pak !"
Suara itu samar-samar ku dengar. Kayak pernah dengar, tapi dimana ya?
Sebuah sentuhan hangat, menyentuh punggung tanganku. Ini apasih ? Ganggu tidur ajah. Perlahan ku buka mataku. Penglihatanku masih buram.
Di sampingku, berdiri seorang wanita yang baru beberapa jam yang lalu aku kagumi. Adelia, perawat hatiku. Buru-buru aku mengucek mataku. Merem lalu melek, merem lagi melek lagi. Bukannya sok-sok drama, tapi aku cuma ingin memastikan apa yang aku lihat di depanku.
Ah, paling saya lagi halu ajah. Mana mungkin dia dengan suka rela mengunjungiku tanpa diminta. Apa dia kangen sama aku ? Penyakit narsisku kumat lagi.
" Tuan Adrian Brawijaya. Anda bisa mendengar saya ?" Suara lembut itu terdengar lagi.
Aku mulai memperbaiki pandanganku. Ku lihat dengan jelas, perawat hatiku nyata berdiri di sampingku. Ku ambil posisi miring menghadapnya.
Senyum manis merekah dari bibir mungilnya. Eh, Astaghfirullah. Kok malah fokus di situ sih? Aih..
" Ada apa suster bangunin saya? Kangen ya sama saya, sampai repot-repot bangunin saya. Gak sabar banget ya,Sus? " godaku kepadanya.
Dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. " Tidak, Pak. Maaf saya menggangu waktu istirahat Anda. Saya datang kesini, hanya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban saya, memenuhi hak bapak sebagai pasien saya." jelasnya.
Aku pun terperanjak kaget, ku ubah posisiku pelan-pelan . Kini aku memilih posisi telentang di hadapannya. Sakit sih saat bergerak, namun sebisa mungkin aku menahannnya.
" Kamu datang kesini karena ingun melaksanakan tugas dan kewajibanmu, juga memenuhi hak ku ? " tanyaku memastikan.
Ia pun mengangguk lalu kembali tersenyum.
" Berarti suster kesini, karena ... hal itu? " Kini tatapanku mengidentifikasi. Alis ku naik turunkan, menyunggingkan senyum semanis mungkin.
Keningnya berkerut tak mengerti.
" Karena.. ha..hal i..itu, maksud bapak a..apa ya? " ia tergagap. Ah, calon makmum, ekspresimu lucu sekali.Aku pun tersenyum, lalu memberikan kode padanya untuk mendekat. Ia pun menurut. Aku membisikkan sesuatu di telinganya.
" Iya, Sus. melaksanakan tugas dan kewajibanmu sebagai calon istriku dan memenuhi hakku sebagai calon imammu dengan memberikan perawatan yang maksimal kepadaku kan?" jawabku dengan mantap.
Ku lihat dia, mulai menarik dirinya ke posisi semula. Matanya membulat, pipinya merah merona, lalu salah tingkah. Haha.. dia gugup rupanya.
" Bu..bukan, Pak." Ia pun mulai mengatur kembali nafasnya lalu melanjutkan kata-katanya. " Maksud saya, melaksanakan tugas dan kewajibanku memberikan obat kepada bapak, dan memenuhi hak bapak sebagai pasien untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik."
Aku tersenyum melihat tingkahnya sekarang. Pipinya merona seperti kepeting rebus, lalu memandang ke arah lain saat netra kami bertemu.
Baru saja aku ingin mengerjai dia, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
" Siapa sih, ganggu momen ajah." gerutuku.
Sedangkan suster Adel, masih berdiri di tempat.
Dua sejoli memasuki singgahsanaku. Siapa lagi kalau bukan papah dan mamah. Ah, eelaah. Pah, Mah, ini bukan waktunya. Kalian merusak momen berharga anak kalian.
Mereka menghampiriku, lalu menatapku bergantian dengan perawat Adel.
" Dokter Antoni?" Lirih perawat hatiku. Dia semakin salah tingkah.
" Apa pasienku kurang ajar sama kamu, Sus?" Tanya papah
Adelia menggeleng cepat. " Ti..tidak, dok. A..aku kesini mau memberikan obatnya" jawab Adelia cepat.
Mamah tersenyum menghampiriku. Dia mengusap kepalaku penuh sayang.
" Sus, pelan-pelan yah kalau mau menyuntikkan obatnya. Anakku phobia terhadap apapun berkaitan dengan Rumah Sakit." jelas mamah dengan lembut.
Wah.. mamah,bocorin rahasia saya. Aku memandang mamah, dan Adel bergantian.
" Apaan sih,Mah. Bikin malu Ian ajah. Siapa bilang Ian takut? Ian mana takut sama jarum suntik" gerutuku.
Aku gak mau pokoknya terlihat cemen di hadapan perawat hatiku. Apa kabar reputasiku ? Seorang CEO muda, berwatak dingin di hadapan orang yang tidak begitu menarik perhatianku, di jatuhkan seperti ini? Di hadapan perawat hatiku? Apa kata Adelia nanti?
" Suster, masukkan obatnya segera. Ini sudah jam berapa." perintah papahku
Aku sebisa mungkin bersikap tenang. Sebentar lagi obat yang menyakitkan itu masuk lagi ke pembuluh darahku. Pelan namun pasti perawat hatiku sudah memasukan cairan itu. Eh, tapi tunggu.. kok rasanya berbeda? Rasa perihnya berkurang. Seperti ada sentuhan hangat.
Aku berani menoleh ke arah punggung tangan kananku. Ku lihat, perawatku mengelus-elus punggung tanganku, tapi tetap tangan yang satu memasukkan obat melalui selang infusku.
Aku mentapnya, lalu berpaling ke papah. Papah hanya tersenyum lalu mengangguk. Aku melihatnya masih fokus dengan kegiatannya. Ada desir hebat merasuki hatiku. Kehangatan sentuhannya mengurangi rasa nyeriku.
Tiba-tiba dia berhenti, lalu merapihkan alat-alatnya. Sejenak ku lihat dia tersenyum padaku, lalu beralih menatap papah dan mamah.
"Sudah, dok. Obat yang untuk di jam ini, sudah saya berikan." lapornya pada papah.
" Terimakasih, Adelia. Sekarang kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu dulu. Aku ingin diskusi kecil dengan pasienku" perintah papah.
Ia pun mengangguk lalu permisi untuk keluar ruangan.
Sepeninggal Adelia, papah dan mamah mendekatiku lalu tersenyum. Senyum penuh arti, namun sulit aku artikan.
" Bagiamana jagoan? Apa itu sakit ?" tanya papah
Aku menggeleng. " Tidak, Pah. Kok bisa yah ?" tanyaku penasaran.
" Adelia menggunakan tekhnik pengendalian nyeri. Jadi, dengan cara tadi, nyerinya berkurang. Bukan begitu, Nak ?"
Akupun mengangguk. Benar kata papah, nyerinya tidak seperti biasa. Apa benar karena tekhnik itu, atau karena perasaanku ? Ah, aku sendiri tidak tahu. Yang aku tahu, aku nyaman.
Aku melihat papah dan mamah tersenyum. Seolah sedang menggodaku saat ini. Ah, apakah wajahku juga memerah saat ini ? Aku tidak tahu, tapi wajahku seperti hangat.
" Pah, apa Adelia tahu, Ian anak papah?" tanyaku penasaran.
" Sepertinya tidak." jawabnya. Papah langsung pindah ke sofa sambil menonton televisi.
" Dari mana papah tahu ? " tanyaku penasaran.
Papah menoleh kepadaku, lalu tersenyum. " Firasat papah. Tidurlah, biar nyerimu makin berkurang."
Tanpa membantah, akupun tidur. Sepertinya obat ini bekerja, mataku begitu berat.. lalu tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perawat Hatiku
RomancePerawat adalah pekerjaan yang mulia. Menjadi seorang perawat, adalah suatu kebanggaan bagi Adelia. Ia sangat menikmati pekerjaannya itu. Melakoni pekerjaan yang menghabiskan waktu dengan pasien. Keluar masuk kamar pasien, hanya untuk memastikan mere...