Pov. ADELIA
*
Kami sekarang duduk di balkon kamar kami. Tadi siang kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah lama berdisikusi, akhirnya kami memilih rumah Mas Ian dulu.Memandangi cahaya langit malam, bintang bertaburan di sertai pancaran sinar rembulan. Kami berdua duduk di kursi berbahan rotan, saling merangkul satu sama lain.
Ku peluk tubuh suamiku, menyandarkan kepada di dada bidangnya. Ku cium arom tubuh maskulinnya. Aku sangat nyaman dipelukannya.
"Sayang, kamu bahagia gak, nikah sama Mas ?"tanyanya setelah kami lama saling diam.
"Bahagia, Mas."
"Sayang, maafin Mas, awal pertemuan kita bikin adek kesel. Selama di rumah sakit, mas sedikit godain kamu. Jujur, mas berusaha menarik perhatianmu, tapi Mas gak tahu, gimana caranya. Dari ide konyol itulah yang bisa mempertemukan kita. Maafin mas ya sayang, membuat kamu kerepotan. Dan, adek tahu gak, Mas yang minta kamu jadi perawat Mas selama disana. Hehe"
Diakui juga ternyata. Dulu dia sangat merepotkanku. Mengingat bagaimana awal kita bertemu, membuatku senyum-senyum sendiri.
Ku eratkan pelukanku, pelukan untuk suami yang dulu ku nilai sangat tengil.
"Mas, adek juga gak nyangka, kita bisa bersatu. Padahal, kalau adek fikir-fikir, Mas bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari adek. Teman bisnis mas juga cantik-cantik."
Mas Ian mengangkat wajahku, ku pandangi lekat-lekat setiap inci dari wajah suamiku. Begitupun dia, menatapku begitu intens.
"Hey, sayang, jangan bilang gitu. Mas memilih kamu, karena kamu lebih baik dari mereka. Mereka mungkin di mata para laki-laki sangat cantik, tapi tidak ada yang sepertimu. Berhati lembut, menutup aurat secara sempurna, dan tidak gampang merespon laki-laki. Contohnya mas. Mas sangat berusaha meyakinkanmu, Dek. Memantapkan hati Mas untuk memilihmu, dan mas bersyukur, Papah dan Mamah sangat setuju." Ucapnya lembut.
Hembusan nafasnya di wajahku membuat hatiku berdesir, jantungku bedetak cepat.
Segera kembali ku fokuskan diriku.
Sebenarnya, aku ingin menanyakan sesuatu padanya, tapi aku takut, Mas Ian marah. Tapi, aku yakin, Mas Ian orang yang bijak.
"Mas, adek mau nanya sama Mas."tanyaku ragu.
"Silahkan sayang."
Aku memperbaiki posisi duduk menghadapnya. Berkali-kali aku mempelintir ujung rambut.
"Setelah masa cuti adek habis, apakah Mas akan mengijinkan adek kerja kembali atau tinggal di rumah ?"
Mas Ian tampak diam begitu lama. Dia memandangiku intens. Apa aku salah bertanya ?
Ku tundukkan pandanganku, aku takut menatapnya.
"Sayang, Mas tahu, menjadi seorang perawat adalah cita-citamu, tapi apa sayang tahu, sebaik-baik wanita adalah yang berada di dalam rumah ? Apalagi saat suaminya tidak berada di rumah. Tapi, Mas kembalikan sama adek, sebenarnya yang adek mau seperti apa ?"ucapnya.
Jawaban suamiku membuatku semakin dilema. Ya Allah, aku harus gimana ?
Mas Ian meraih tubuhku dalam pelukannya. Menenangkanku yang saat ini sedang gundah. Ada debaran yang tak bisa digambarkan lagi.
"Adek ikut keputusan mas, adek hanya ingin menggapai Ridho-Nya melalui mas. Adek ingin menjadi sebaik-baik istri, membangunkan mas, menyiapkan pakaian mas, menyiapkan sarapan mas, menunggu mas di rumah lalu menyambut kedatangan mas dengan senyuman hangat. Adek ingin berbakti sama Mas. Adek gak masalah meninggalkan kerjaan adek demi Mas, demi keluarga kita. Adek takut, saat masih kerja, Mas pulang, tapi gak ada adek, Mas ke kantor, gak ada adek, Mas tidur, gak ada adek. Adek ingin menjadi alasan Mas betah di rumah" jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perawat Hatiku
RomancePerawat adalah pekerjaan yang mulia. Menjadi seorang perawat, adalah suatu kebanggaan bagi Adelia. Ia sangat menikmati pekerjaannya itu. Melakoni pekerjaan yang menghabiskan waktu dengan pasien. Keluar masuk kamar pasien, hanya untuk memastikan mere...