20. Speaking of which

4K 457 67
                                    

Yoongi POV

Jangan tanya aku dapat ide gila dari mana sampai mengatakan kalimat seperti itu. Setelah ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku, aku dan Jennie hanya saling menatap dengan canggung. Jennie tidak memberiku respon apapun. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tidak paham mengartikannya. Jadi, aku mengalihkan perhatianku, menatap lurus mobil polisi yang terparkir beberapa meter di depan mobilku. Seolah-olah mengamati mobil itu, padahal pikiranku sama sekali tidak ke sana.

Apa aku secara tidak langsung menyinggung perasaan Jennie lagi seperti di studio waktu itu? Kenapa Jennie tidak mengatakan apapun? Apa dalam hatinya ia berkata bahwa aku tidak berhak mencampuri urusannya? Apa aku melewati batas dengan berkata seperti itu?

Aku mengatur napasku. Kembali memasang seat belt, kemudian menjalankan mobil. Pikiranku berusaha mencerna kembali ucapanku barusan. Itu ucapan spontan. Tapi, memangnya itu salah? Apa aku tidak berhak meminta Jennie untuk jujur padaku? Hanya karena aku bukan pacarnya sungguhan?

Tentu, memang tidak ada kewajiban bagi Jennie untuk jujur padaku. Entah kenapa itu menyebalkan. Dan iya.. aku juga tidak berhak memarahinya. Barangkali aku terlalu mendalami peranku sebagai namja chingu nya. Atau barangkali aku hanya ingin menjaga dia seperti bagaimana eomma-nya memintaku. Entahlah, entah!

Aku dan Jennie tidak mengatakan satu katapun selama perjalanan kami menuju apartemenku. Baru saat memasuki unit apartemenku, Jennie memanggilku dengan pelan, seakan menunjukkan betapa ia enggan memecah keheningan. "Yoongi.."

"Apa?" Aku melepas sepatuku, menggantinya dengan slippers dan berjalan ke pantry untuk mengambil minum.

"Kau marah padaku?"

Mataku meliriknya sekilas. Ia berdiri canggung, mengingatkanku pada hari kemarin saat ia pertama kali datang ke apartemenku. Mengingatkanku bahwa hari itu, dia yang marah padaku karena ucapanku saat di studio. Dan bahkan sampai hari ini pun dia belum mengatakan sudah memaafkanku.

"Tidak. Aku tidak berhak marah padamu. Aku bukan pacarmu sungguhan."

"Tapi, kau terdengar marah."

Aku menuang air ke gelas dan meneguknya hingga habis, memilih untuk mengabaikan ucapannya.

"Kau terdengar benar-benar peduli padaku. Tapi, aku tidak tau apa kau memang benar-benar peduli padaku."

"Aku memang benar-benar peduli padamu."

Ia berjalan mendekatiku, kemudian berhenti tepat di hadapanku. "Memanfaatkanmu dengan benar sebagai pacarku. Benarkah aku boleh melakukannya?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, boleh aku minta sesuatu padamu?"

"Minta sesuatu?"

Jennie mengangguk antusias. "Eoh. Aku bisa minta apapun pada pacarku kan?"

"Memangnya kau mau minta apa?"

"Baegopa-yo," ucap Jennie sambil memamerkan gigi-giginya, membentuk senyuman yang tampak tidak asing. "Bolehkah aku memesan chicken dan cola?"

Ya ampun Jennie! Aku menatapnya tak percaya. Benar-benar tak habis pikir. Selama perjalanan kemari, aku berusaha menebak-nebak apa yang ia pikirkan. Apakah dia marah padaku, atau apakah ucapanku salah dan melewati batas. Tapi, barusan dia bilang apa? Jadi, alih-alih memikirkan ucapanku, selama perjalanan kemari dia malah memikirkan... makanan? Aishh... Aku tidak tau harus kesal atau apa. Yang pasti aku benar-benar gemas. Tanganku terulur untuk menjitak kepalanya.

"Ah! Appoo!" Jennie berseru sambil mengusap-usap kepalanya dengan ekspresi kesakitan yang berlebihan. Aku bahkan tidak menjitaknya sekeras itu.

Sweet SavageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang