Devan dan ZeeBriel -26

205 22 1
                                    

Semua orang masih menunggu dengan khawatir keadaan Devan. Hampir dua jam berlalu, tapi dokter belum juga keluar dari ruang operasi.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang operasi terbuka dan seorang dokter dengan pakaian serba putih keluar dari sana. Okta yang telah selesai mengurus administrasi dan mengambil duduk di samping Elaine pun langsung terjingkat berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

"Keluarga pasien?" Tanya dokter itu.

"Saya, Dok. Saya orang tuanya," jawab Okta menghampiri dokter tersebut.

"Operasi pasien berjalan lancar. Setelah ini kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap," kata Dokter itu memberitahu. Okta hanya mengangguk.

"Anak saya gapapa kan, Dok?" Kini Elaine yang bertanya.

"Anak ibu sempat mengalami kritis karena kehilangan banyak darah. Tapi keadaannya kini sedikit membaik, tapi masih belum sepenuhnya baik. Kami masih perlu memantau perkembangannya lebih lanjut," jelas Dokter itu. Elaine hanya diam mendengarkan.

Tidak lama beberapa orang suster dan perawat membawa Devan untuk dipindahkan ke ruang khusus untuk rawat inap. Setelah dipindahkan semua orang bisa melihat Devan dari dekat. Termasuk Kyla.

Semenjak Devan dipindahkan, Kyla selalu berdiri di samping Devan. Gadis itu terus menggenggam tangan Devan seakan tidak mau kehilangan laki-laki itu. Semua orang yang melihatpun merasa iba.

Kyla sendiri baru menyadari sesuatu yang telah tumbuh di hatinya. Ia baru menyadari sejak saat Devan mengatakan perasaannya padanya waktu itu. Kyla tersadar. Bahwa ia juga mencintai Devan. Bukan lagi Zydan yang ia harapkan untuk kembali. Tapi Devan untuk selalu ada di sampingnya.

Bukan lagi Zydan untuk menemaninya. Tapi Devan untuk mengisi sebagian hatinya yang kosong. Ia hanya butuh Devan untuk saat ini. Ia ingin Devan kembali. Ini semua salahnya. Devan terbaring lemah seperti saat ini juga salahnya.

Perlahan airmata Kyla kembali menetes. Tangannya masih menggenggam tangan Devan yang pucat. Pandangannya buram karena terhalang airmata. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tepukan pada pundaknya.

"Devan nggak pernah kayak gini," ujar seseorang di belakang Kyla. Itu Gracio. "Devan gak pernah berkorban sejauh ini buat orang lain. Setahu gw, Devan gak pernah deket sama cewek. Kalaupun ada, itu pasti Brielle," ujar Gracio berdiri di samping Kyla.

"Brielle?" Tanya Kyla lirih. Gracio tersenyum.

"Iya. Mereka berdua udah deket dari kecil. Soalnya rumah gw sama Brielle dulu tetanggaan," jawab Gracio. Kyla hanya diam. Entah gadis itu mendengarkan atau tidak. Ia hanya memandangi alat detektor jantung yang berbunyi memenuhi ruangan.

"Kak," panggil Kyla pada Gracio yang masih berdiri di sampingnya. Di ruangan itu hanya ada Kyla dan Gracio. Entah kemana semua orang. Khusus untuk Okta ia tengah mengurus kasus Zydan di kepolisian setelah sebelumnya menelpon keluarga Kyla untuk datang.

Gracio menoleh. "Kenapa?" Tanyanya.

"Devan bakal sadar, kan? Ini salah gw, Kak..hiks.. Harusnya gw gak libatin Devan.. hiks.. ini karena gw..-," Kyla kembali terisak. Gracio menepuk-nepuk pundak Kyla menenangkan.

"Ini bukan salah kamu, sayang," Elaine tiba-tiba datang dan memeluk pundak Kyla yang bergetar karena menangis.

"Hiks.. tapi, Tan, Devan jadi gini gara-gara Kyla.. hiks," Kyla malah menangis di pelukan Elaine.

"Kyla sayang, jangan salahin diri kamu sendiri. Tante tau ini semua adalah jalan yang dipilih sama Devan. Dia pasti sedih kalo tau kamu sedih," ujar Elaine mengelus pucuk kepala Kyla sambil mendekapnya.

Mungkin? (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang