Prilly membuka matanya perlahan ketika cahaya masuk ke dalam kamar. Beranjak dari duduknya, kemudian merenggangkan ototnya yang pegal dan kembali menguap. Hawa pagi di puncak ini membuat matanya ingin sekali terpejam lagi.
Ia melihat Ali yang masih tertidur pulas di atas sofa. Prilly berdecak pinggang, menggelengkan kepalanya dan menghampiri lelaki itu untuk menagih janjinya semalam.
Duduk di pinggir sofa, tepat di atas kepala Ali. Untuk pertama kalinya ia melihat wajah Ali ketika sedang tertidur. Ia memandangi wajah lelaki itu dengan lamanya, seolah tatapannya ini tidak bisa berpaling dari wajah datar yang berubah menjadi polos ini.
Suara dehaman dari Ali membuat Prilly tersentak kaget, mengerjap matanya berkali-kali dan beranjak dari duduknya. Kalau saja Ali sadar bahwa sedari tadi ia memperhatikan wajahnya, tentu saja ia akan pergi mengumpat sekarang juga, tengsin.
"Kok berhenti ngeliatin akunya?"
"Eh?" Prilly menggigit jari kukuknya. Mulai terlihat kikuk. "A-apa sih kamu! Cepetan bangun deh!"
Bukannya bangun, Ali kembali menutup matanya. "Masih ngantuk,"
Prilly melipatkan kedua tangannya di perut. "Bangun atau aku ngambek!"
Ali hanya berdeham tanpa membuka matanya membuat Prilly geram. Ia menarik tangan Ali secara paksa. "Bangunnnn gak!"
Ali juga ikut menarik, mereka saling tarik-menarik, dan tentu saja tenaga Ali lebih kuat di bandingkan dengan tenaga Prilly, membuat gadis itu terjatuh di pelukannya yang masih dengan posisi berbaring.
Prilly memejamkan matanya erat tidak berani untuk membuka. Bahkan, tubuhnya saja membeku di posisinya. Pipinya bersandar tepat di bidang dada Ali, ia bisa mendengar bunyi degup jantung lelaki itu yang bergetar kencang sama seperti dirinya.
Kalau saja ia mengangkat kepala, pasti wajahnya akan bertemu dengan wajah Ali dengan begitu dekat, bahkan tidak ada jarak di keduanya. Oh, atau bisa saja keningnya bertabrakan dengan bibir Ali.
Ah, sudahlah.
"Mungil tapi berat,"ujar Ali dengan kekehan kecilnya. "Betah di pelukan aku, ya?"
Mungil tapi berat, mungil tapi menonjol, kata-kata itu ia pernah ia dengar, tentu saja, kalimat itu terlontarkan lewat pesan WhatsApp yang Ali berikan waktu pertama kali mereka chattingan.
Dengan rasa kesal Prilly beranjak menjauhi tubuhnya dari pelukan Ali. Sedangkan Ali masih terkekeh sambil menatapnya. "Cepet sana mandi!"
"Entar dulu, aku masih ngantuk,"
"Gitu aja terus sampai sore, sampai gak jadi jalan-jalannya!"
"Oh, jadi kamu ini mau jalan-jalan?"
"Kan, kamu yang janjiin, gimana sih?!"tanyanya dengan ketus.
"Iya,iya, maaf, ya?"ujarnya lembut yang kemudian beranjak dari tidurnya, duduk sebentar mengumpulkan nyawa, kemudian matanya memandang lurus ke depan, melihat perempuan yang mampu membuatnya jatuh cinta ada di hadapannya sekarang.
"Berasa kayak udah halal,"gumam Ali dengan senyumannya.
Prilly menatapnya kesal. "Aku denger loh, ya!"
"Bagus," Ali berdiri dari duduknya, merenggangkan otot-ototnya kemudian merangkul bahu gadis itu. "Buatin aku sarapan, mau?"
"Bahannya ada?"
"Selalu ada,"
"Yaudah, kalo gitu."
"Kamu mau? Kalo enggak mau, kita pesan aja ke Pak Amin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Is Mine
Teen FictionSosok playboy yang mempunyai sifat dingin, tidak pernah berprilaku manis terhadap perempuan, dan kini dia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang perempuan mungil yang mempunyai sifat polos berbeda dengan perempuan lainnya.