Jam alarmnya sudah berbunyi menandakan sudah pukul 6 pagi. Seharusnya ia sudah bergegas mandi untuk siap-siap berangkat sekolah, namun yang gadis itu lakukan masih bersembunyi di balik selimut tebalnya. Rasanya malas sekali beranjak dari kasur. Lebih tepatnya malas untuk menghadapi pagi ini.
Prilly meraih ponselnya yang berada diatas nakas dan membukanya. Membaca chat dari Ali yang belum sempat ia balas semalam. Bukannya tidak sempat, karena ia tidak sanggup. Tidak sanggup untuk menyakiti lelaki itu. Ah, tidak. Ia tidak akan menyakiti Ali. Bagaimana bisa menyakiti? Biasanya saja ia yang disakiti.
Ia meletakkan ponselnya lagi seperti semula. Memejamkan matanya sejenak, berusaha mengumpulkan semangat untuk hari ini. Dan melupakan kejadian semalam, bahkan sepertinya tidak usah diingat lagi. Ucapan Papinya, Bagas, ia anggap angin lewat saja.
Dengan rasa setengah bersemangat, Prilly beranjak dari kasur dan bergegas mandi. 20 menit, gadis mungil itu sudah siap dengan seragam yang sudah ia kenakan ditubuhnya, dan juga tas ransel yang sudah berada di punggungnya.
Prilly menatap wajahnya di depan cermin. Kedua matanya masih sembab, dan juga bibir yang pucat. Akhirnya ia memakaikan lip-balm pada bibirnya, setelah itu tersenyum tipis. Seperti biasa, ketika sedang sedih ataupun terpuruk, sebisa mungkin Prilly menampilkan senyumannya di depan umum, dan tidak mau terlihat lemah.
Keluar dari kamar, menuruni anak tangga satu persatu, ia melihat pemandangan yang sangat langka dihadapannya. Seperti rumah ini hidup kembali setelah sekian bulan selalu sepi, dan tidak ada kehidupan didalamnya. Melihat orang tuanya yang sedang sarapan bersama membuat semangat hari ini bertambah. Membuat senyum dibibirnya terukir indah. Namun beberapa detik, senyum itu luntur dengan sendirinya. Karena mengingat ucapan Papinya semalam.
"Sarapan dulu ya, Nak?"ujar Iren lembut ketika Prilly mendekati meja makan. Ia berdiri dari duduknya, mengelus rambut Prilly dengan sayang seraya menuntun Prilly untuk duduk.
"Aku gak laper, Mi."jawab Prilly singkat. Memasang wajah yang menandakan ia masih kesal.
"Tapi kamu harus sarapan, sayang. Mami udah buatin makanan kesukaan kamu," Iren terus berusaha membujuk. "Kamu makan, ya?"katanya dengan lembut masih dengan tangan yang mengelus rambut anaknya.
"Aku sarapan di sekolah aja. Biasanya juga aku begitu kok."ujar Prilly dengan bermaksud menyindir membuat Iren diam.
"Sejak kapan kamu membantah? Sejak kenal cowok itu? Iya?" Bagas menatap anaknya dengan dahi yang berkerut dan kedua matanya yang sedikit tajam yang sudah Prilly hafal, jika perintahnya sudah tidak bisa dibantah lagi. "Duduk, sarapan dulu."
Prilly menatap Bagas dengan malas. Kemudian akhirnya memutuskan untuk ikut sarapan dengan kedua orang tuanya. Bertujuan agar Bagas tidak berprasangka buruk pada Ali terus menerus. Sebenarnya moment ini sangat langka, yang seharusnya ia nikmati dengan senang. Namun sayang, ia merasa suasananya tidak menghangat lagi, melainkan panas dan menegangkan.
"Papi mau kamu ikut les. Sebentar lagi kamu mau naik kelas tiga. Harus dapat nilai yang bagus." Bagas memecahkan keheningan yang sejak tadi menyelimuti. "Papi bisa daftarin nanti sebelum Papi berangkat lagi ke london,"
"Ikut les apa sih, Pi?"tanya Prilly dengan nada yang terdengar jengah. Biasanya ia selalu menuruti perintah apapun dari Bagas, ataupun Iren, tanpa bertanya-tanya atau memprotes. Tetapi kali ini tidak.
"Apa aja. Supaya kamu juga gak bosen di rumah dan ada kegiatan selain di sekolah,"ujar Bagas setelah meneguk air putih. "Kamu itu juga udah mau kelas tiga, persiapin dari sekarang."
"Kegiatan aku di sekolah udah padet, Pi. Papi kan tau kalo aku ini ketua osis. Aku juga bisa belajar sendiri tanpa harus les,"Prilly berusaha menolak. "Aku capek kalo ikut les, pasti kurang istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Is Mine
Teen FictionSosok playboy yang mempunyai sifat dingin, tidak pernah berprilaku manis terhadap perempuan, dan kini dia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang perempuan mungil yang mempunyai sifat polos berbeda dengan perempuan lainnya.