Pintu ruang BK ditutupnya dengan kasar. Kania seolah tidak memikirkan Bu Beti yang ada di dalam ruangan terlonjak kaget. Syukur-syukur kalau guru tua itu terkena serangan jantung, usus buntu, atau ambeien sekalian. Jadi Kania tidak lagi harus mendengarkan ocehan Bu Beti yang hampir mirip dengan burung beo, nggak ada habisnya. Dasar guru tua banyak bacot, rutuk Kania dalam hati.
Di depan ruang BK, Kania berpapasan dengan Afredo, kakak kelasnya yang terkenal cogan. Pasalnya, tidak hanya tampan, tapi Afredo juga dikenal sebagai salah satu pemain basket terbaik sekolah. Dia memang bukan kapten basket seperti Baron, namun kharismanya mampu mengalahkan Baron, meski ia hanya pemain dalam tim.
Kania yang awalnya kesal kini memasang tampang sok manis di depan Afredo yang asyik memutar-mutar bola di tangannya. Melihat Kania, Afredo tersenyum tipis. "Di panggil ke BK lagi?" kekehnya sambil mengacak rambut Kania pelan.
"Heem," Kania berjinjit sambil menjulurkan lidah.
"Maksudnya apaan? Minta dicipok?" Afredo mengulurkan bola ke arah tubuh Kania. Entah apa maksudnya, Kania hanya tersenyum saja. Ia berjalan beriringan dengan Afredo meninggalkan ruang BK.
"Nggak masuk kelas, Nia? Nanti lo diomelin lagi sama Bu Beti."
"Udah khatam kali diomelin kayak gitu. Seru tau, Kak. Cobain deh sekali-sekali, siapa tau ketagihan." ujar Kania yang langsung ditanggapi Afredo dengan gelengan kepala. "Gue nggak mau kalau nemenin lo masuk ke BK, maunya nemenin lo aja sampai pelaminan."
Kania tersentak, ia tersenyum malu-malu. "Engg ... dasar modus ih! Jangan panjat sosial lho, Kak!"
"Hah, panjat sosial? Gue aja udah terkenal seantero sekolah, Nia. Kita kan saingan, hahahaha." tawa Afredo menggema di ujung koridor. "Ssstt ... bahkan Baron aja kalah sama gue, bener nggak?" bisik Afredo yang kini memasang tampang sok cool di depan Kania.
"Gue iyain nggak nih, Kak? Btw, elo juga kok nggak masuk kelas? Bandel juga nih ya ... kayak gue?!
"Eh, siapa bilang? Ya enggak dong, Nia. Gue mau balikin bola nih ke gudang, mau ikut nggak?" tawar Afredo.
Tanpa banyak bicara, Kania langsung mengiyakan. Ia berjalan dengan semangat di sebelah Afredo. Mereka membicarakan banyak hal hingga tak sadar jika ada seseorang yang mengikuti dari belakang.
***
Selagi Afredo mencari kunci gudang yang ada di dalam saku, Kania membawa bola basket yang akan mereka letakkan di gudang. Letak gudang yang cukup jauh dari area kelas membuat suasana disana cukup sepi. Apalagi tempat itu tertutup beberapa pohon besar, membuat gudang tampak lebih mengerikan dari tempat lain yang ada di sekolah Kania.
"Gimana Kak? Udah ketemu belum kuncinya?" tanya Kania sambil terus mengamati keadaan sekeliling. Jam pelajaran belum usai, mungkin masih ada waktu hingga satu jam lagi sampai bel istirahat berbunyi.
"Bentar Nia, tadi ada kok di saku sini. Mmm ... mungkin disini." Afredo merogoh saku bajunya, setelah menemukan benda yang dicari-cari, ia kemudian mengulas senyum senang.
Pintu terbuka, Kania dan Afredo masuk. Ruangan itu cukup berdebu. Karena lumayan gelap dan berbau, Afredo menyalakan saklar lampu. Meski tidak terlalu terang, tapi cukuplah untuk penerangan mereka.
"Ini ditaruh dimana Kak?"
Afredo berjalan dan membuka sebuah laci yang berukuran besar, "sini biar gue yang naruh bolanya."
Kania menurut, ia berjalan ke arah Afredo. Namun karena tidak hati-hati, ia menginjak bola pingpong yang berserakan di bawah. Ia hampir terjatuh, namun dengan cepat Afredo menahan tubuh Kania. Jarak mereka kini semakin dekat. Kania bahkan bisa mendengar degup jantung Afredo yang berpacu cepat. Mereka saling berpandangan, dan tanpa Kania sadari, wajah Afredo mulai bergerak mendekat ke arahnya.
Kejadian itu tidak bisa dihindari lagi. Afredo mencium bibir Kania cukup lama, masih dalam posisi seperti itu. Mereka berdua saling terdiam. Seseorang yang ada di balik pintu gudang cepat-cepat membuka kamera ponsel dan mengabadikan momen tersebut dalam bentuk foto. Bukan hanya satu, namun lima sekaligus!
Ia tersenyum kecut, setelah memasukkan ponselnya dalam saku rok, ia bergegas pergi meninggalkan gudang supaya Kania dan Afredo tidak mengetahui keberadaannya.
Kania baru tersadar ketika Afredo tiba-tiba membelai rambutnya lembut. Kania buru-buru melepaskan ciuman mereka. Ia menjauh dari Afredo dan merapikan baju seragamnya yang sedikit mencuat keluar.
Pandangan mereka bertemu. Afredo mengusap wajahnya beberapa kali, "sorry Nia, gue nggak bermaksud. Sorry, bukannya gue kurang ajar sama lo."
Bukannya marah, Kania justru mengulas senyum ke arah Afredo. "Santai aja kali, Kak. Ini juga salah gue kok, kenapa tadi jalannya nggak hati-hati."
"Kejadian tadi jangan lo bilang ke siapa-siapa ya, Nia?" bisik Afredo sambil berjalan ke arah pintu luar. Kania yang ada dibelakangnya hanya berdehem pelan. Dalam hatinya ia merasa senang, ia juga tidak akan menuruti Afredo karena kejadian tadi akan menjadi topik menarik yang ia pamerkan ke Niar, Yola dan Ella.
"Kak, mau balik ke kelas?"
Afredo mengangguk, ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. "Boleh minta Line lo nggak? Siapa tau kita bisa lebih akrab."
Mendengar hal itu, Kania rasanya ingin menjerit bahagia. Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengulurkannya ke arah Afredo, "nih Kak, lihat aja sendiri."
"Nggak apa-apa nih?" tanya Afredo seraya mengangkat ponsel Kania dengan tangan kanannya. "Nanti pacar lo marah lagi," tambahnya.
Kania menggeleng, "nggak punya pacar, paling Line rame cuma gara-gara temen-temen gue, kalau enggak ya cuma grup kelas. Itu aja!"
"Grup keluarga nggak ada?" kekeh Afredo sambil tertawa kecil. Kania menggeram pelan, "ahh ya enggak lah, kalau mau chat antar keluarga ya pc. Gitu aja, nggak ribet."
Afredo mengulurkan ponsel Kania, " thanks ya Nia, jangan lupa bales pesan gue kalau gue chat. Kalau nggak punya duit buat beli kuota, gue beliin deh, tenang aja."
"Hahaha bisa aja! Mana mungkin gue sampai nggak punya kuota? Dih, ngaco!"
Setelah itu, Afredo hanya tersenyum lalu pamit kembali ke kelasnya. Kania berbalik badan sambil melompat-lompat kecil, ia berjalan menuju kelas dengan perasaan bahagia. Sudah tidak bisa di deskripsikan lagi apa yang Kania rasakan hari itu. Meski tadi pagi ia harus dibuat kesal dengan tingkah beberapa orang, namun pertemuannya dengan Afredo membawa atmosfer baik bagi suasana hati Kania.
Ia tidak bisa berhenti mengulas senyum, sampai akhirnya ia tiba di depan kelasnya sendiri. Melihat kedatangan Kania, Bu Anis yang sedang menerangkan materi langsung diam dan menatapnya dengan sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Daddy
Teen Fiction[ BUKAN CERITA DEWASA! ALUR MAJU-MUNDUR & FULL DRAMA! ] "Papa Aldan! Di sini haram ya kalau senyum-senyum sama orang yang nggak dikenal!" "Memang ya, pesona laki-laki dewasa nggak ada duanya." Jika banyak cerita tentang cool boy yang menjadi idola c...