Empat Puluh Tujuh - A Tragedy

428 33 21
                                    

WARNING!!!

Cerita di part ini akan ada perbedaan pov (sudut pandang) dari beberapa tokoh, sengaja gak aku cantumkan nama jadi mohon dibaca sungguh-sungguh yaa :D

Enjoy!

***


Seruni berlari ke belakang rumah, tepat ketika Aldan baru saja keluar dari kamar mandi. Aldan yang melihat Seruni menangis buru-buru meletakkan handuknya dan mengikuti langkah gadis itu.

"Hikss ..."

Seruni tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, ia duduk di kursi belakang yang langsung menghadap ke pohon mangga. Beruntung di sana ada tembok yang cukup tinggi sehingga tidak ada yang bisa melihat sosok Seruni di sana.

Ia menghubungi seseorang melalui panggilan telepon. Seseorang yang akhir-akhir ini telah menemani hari-harinya.

"Halo ..."

"Seruni? Kamu nangis ya?"

"Halo? Seruni?"

" ... "

"Kamu baik-baik aja kan?"

"Aku ... Kak Kania ..."

"Hah? Gimana? Ada apa sama kalian berdua?!"

Sosok di balik telepon itu terlihat gelisah, ia tidak sabar mendengar ucapan Seruni selanjutnya, namun Seruni malah terus terdengar merintih dan menangis.

"Seruni, ada apa? Jangan bikin khawatir gini dong!"

"Aku sama Kak Kania bertengkar, dia nampar aku keras sampai rasanya pusing banget ..." Seruni menghentikan kalimatnya dan lagi-lagi menangis.

"SERUNI!"

Aldan yang berdiri di ambang pintu membuat Seruni terbelalak. Ia buru-buru mematikan panggilan telepon dan menyimpan ponselnya di saku celana. "Papa?"

"Astaga sayang ..."

Pipi Seruni memerah dan mungkin tak lama akan menimbulkan luka memar, Aldan yang melihat hal itu langsung panik. "Apa ini ulah Kania?"

Dengan tatapan nanar, Seruni hanya mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun. Wajahnya mulai memucat, lama-lama pandangannya kabur, setelah itu yang ia dengar hanya teriakan Papa Aldan.

***

Tepat saat Kania turun ke bawah, tubuh adiknya telah dibopong oleh Papa Aldan menuju ke depan rumah. Karena penasaran, Kania pun mengikuti langkah papanya yang tergesa menuju mobil.

"KANIA!" Papa Aldan mengisyaratkan gadis itu untuk membuka pintu mobil. Kania menurut karena ia masih kebingungan.

Beberapa menit yang lalu ia dan Seruni bertengkar di lantai atas, setelahnya Seruni hanya menangis dan pergi meninggalkan Kania di dalam kamar. Apa yang terjadi? Apa perlakuan Kania tadi sudah keterlaluan?

Apa Seruni telah melakukan percobaan bunuh diri?

"Papa akan panaskan mesin mobil sebentar, kamu beri tahu Mama Sharena, kita akan ke rumah sakit sekarang!" perintah Papa Aldan.

"Pa tapi ..." Kania menunjuk ke arah Seruni, "Dia kenapa sih?"

"Seharusnya Papa yang bertanya padamu Kania!" Papa Aldan melotot. Meski begitu ekspresi Papa Aldan tak mengurangi sedikitpun ketampanannya.

"Ihh Papa! Gak usah melotot-melotot gitu nanti kalo matanya copot jadinya serem!"

Kania sudah gila, di keadaan darurat pun ia masih saja bisa melontarkan kalimat tidak berguna.

"Kamu tidak pernah bisa serius Kania, cepat lakukan saja apa yang Papa katakan!" Papa Aldan bersungut kesal, ia berjalan menuju ke arah kemudi.

Kania hanya melihat ke arah papanya sekilas, tiba-tiba muncul niat iseng dari dalam pikirannya. Ia tidak sepenuhnya yakin kalau Seruni memang benar-benar tidak sadarkan diri. Bisa saja kan Seruni pura-pura karena ingin mengambil hati papa dan mama.

Kania mendekatkan tangannya ke telapak kaki Seruni, ia memainkan jarinya di bawah sana berharap Seruni menunjukkan ekspresi geli. Namun hasilnya gagal, Kania mencoba cara lain. Ia kini menyingkap kaos yang dikenakan adiknya itu, hampir saja ia menggelitiki perut Seruni, klakson Papa Aldan lebih dulu berbunyi.

Tiiinnn.

"Jangan main-main Kania, jangan buat Papa jadi merasa bersalah untuk kesekian kalinya ..." pinta Aldan dengan suara pelan.

Kania tersenyum masam sambil berjalan ke arah kamarnya. Ia berganti baju seadanya lalu pergi ke kulkas untuk mengambil satu kotak susu rasa pisang. Ia melewati kamar utama dan melirik sekilas ke arah Mama Sharena yang sedang tertidur pulas.

Biarin deh Mama tidur, lagian sebentar lagi Seruni  juga sadar. Daripada diomelin Papa Aldan lagi, mending gue buruan ke bawah.

***

Tok!!! Tok!!! Tok!!!

Sharena membuka matanya ketika mendengar beberapa kali ketukan di lantai bawah. Kepalanya sedikit pusing sehingga ia memijatnya dengan kuat.

"Sayang ... Aldan ... ada yang dateng tuh!"

Tidak ada sahutan, rumah terlihat sepi.

"Kania! Seruni!"

Suara dua anak gadis itu pun tidak terdengar, padahal biasanya Kania menyetel musik lewat speaker dengan keras.

"Aduh ..." Sharena masih berusaha menguatkan tubuhnya, ia pelan-pelan turun melewati tangga.

Tok!!! Tok!! Tok!!!

"Iya sebentar ..."

Sambil terus menahan tubuhnya di tembok, Sharena berjalan menuju pintu depan.

"Assalamualaikum Bu Sharena ..."

"Waalaikumsalam ..."

"Kok lama sekali dibukanya? Orang-orang rumah pada pergi ya?"

Sharena mengamati dua orang wanita di depannya. "Siapa ya? Kayaknya saya pernah ketemu Ibu-ibu ini, kalau begitu mari masuk dulu."

Baru beberapa langkah ia berbalik, Sharena merasakan sakit dibagian perutnya hingga ia menundukkan badan. "Akhhh ..."

"Eh, Bu Sharena!"

"Bu Sharena kenapa? Astaga!"

"Aduh ... perut saya sakit sekali, Bu!"

"Bu Betty, ini bagaimana? Saya telpon Pak Aldan ya?" Bu Anis hendak mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Bu Betty menahan tangan Bu Anis, ia hanya diam menatap Sharena yang sudah kesakitan setengah mati di depannya.

***

TBC !

Vote, komen & share ke temen-temen kamu biar aku semakin semangat update :)

My Cool DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang